Banyak pilihan yang bisa diambil dalam pembinaan usia dini, mengadakan turnamen kelompok umur yang berkualitas juga bukan hal yang sulit-sulit amat untuk dilakukan. Outputnya, dengan pembinaan serius dan bisa menjamin usia dini berkompetisi dengan baik mereka akan layak bermain di level tertinggi. Karena si pemain sudah mencicipi beberapa jenjang. Mental dan jiwa berkompetisi sudah terasah untuk bekal bertarung di kompetisi teratas. Kualitas pertandingan dan kompetisi pun diyakini tak akan mengalami penurunan.
Opsi-opsi diatas hanyalah sekadar tentang keresahan saya saja terhadap pemaksaan bermain kepada pemain muda, pemain yang sebetulnya tidak siap bermain di level tertinggi. Seperti ejakuasi dini, hal tersebut ternyata kurang baik jika dilihat dari segi teknis pengembangan sepak bola yang sebenarnya.
Nicky Butt, David Beckham, Gary Neville, Paul Scholes, Ryan Giggs merupakan pemain muda yang telah siap dipasarkan oleh Fergie di masa-nya. Media setempat menamakannya ‘class of 92’. Tidak ada paksaan dari pihak teknis pengembangan Manchester United untuk memunculkan mereka ke tim utama, pemain muda ditempa dengan persaingan yang sehat di level tertinggi. Hasil akhirnya, mereka bisa menjadi pemain hebat yang konsisten bukan pemain bintang yang instan untuk kemudian meredup karena tak mengenali betul bagaimana caranya menghadapi persaingan.
Selain itu, siapapun tentu tak ingin menyaksikan pertandingan liga dalam negeri nantinya hanya menarik di babak kedua saja. Sehingga regulasi tersebut terkesan hanya menurunkan kualitas pertandingan dibalik pemaksaan pemain muda itu sendiri. Â Mari kita berkaca, sepak bola babak kedua ala Piala Presiden 2017 tak boleh terjadi di Liga Satu. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H