Galang masih sibuk berselebrasi, entah dia merayakan kemenangan timnya, mensyukuri gelar individu, atau pengakuannya atas label flamboyant itu. Yang jelas Ia sangat bergembira. Hari semakin sore, beberapa lampu stadion mulai menerangi, selepas merayakan pesta kemenangan timnya dan menerima award sebagai pemain terbaik, Galang dihampiri oleh jurnalis, agen pemain, talent scouting, dan pelatih papan atas nasional. Agency pemain kenamaan PSG (Pablo Sport Group) menjadi pihak pertama yang menawarkan kerja sama dengan Galang agar sudi bergabung bersama klub Giacarta Calcio, tim sepak bola terkemuka di Ibukota. Dengan embel-embel bermain bersama pemain populer macam Ommar Baskara, Eduardo Redondo, hingga Rio Nasution.
Namun, Galang menolak mentah-mentah tawaran menggiurkan tersebut. Pihak PSG tak habis pikir bagaimana seorang pemain muda macam Galang tidak bisa mereka bujuk untuk bergabung ke tim sebesar Giacarta Calcio. Di stadion tempat sejarah baru itu berlangsung (lolosnya tim Batavia FC ke kasta tertinggi, read) tinggal hanya menyisakan sang pahlawan, Galang, dia terlihat begitu sibuk meladeni pertanyaan demi pertanyaan dari media, agen, talent scouting, hingga pelatih klub lain yang sengaja datang langsung membujuk potensi terbaik di negeri gila bola ini.
Agen PSG baru saja menutup pintu ruang ganti tempat dimana Galang berada, kemudian datang agen lain yang mengaku delegasi dari tim Jacatra United bernama Jack Nelson. Yang ditawarkan tetap sama agar supaya Galang meningalkan klub Batavia FC dan bergabung bersama tim mereka. Siapa yang tak mengenal Jacatra Utd. Tim paling ditakuti di Ibukota, bahkan seantero negeri. Armando Rodrigo dan Gabriel Wewengkang bermain disana.
Jack mengawali percakapan. “Anda ingin berkembang di sepak bola nasional?”Galang hanya memainkan alisnya untuk mengisyaratkan bahwa Ia menginginkannya. “Jika anda bergabung dengan kami, yang akan didapat bukan hanya popularitas tapi juga label pemain termahal abad ini. Bagaimana?”Tandas Jack seakan merayu dengan kekuatan terbaiknya. “Saya hidup di sepak bola bukan semata karena uang tapi dengan cinta. Seaindainya saya tidak punya cinta disini, maka saya tak akan se-konsisten ini. Uang bukan segalanya”.
“Omong kosong, dewasa ini hidup tanpa uang hanya lelucon, bersama cinta manusia hanya bersembunyi dibalik kesangsian. Suatu saat nanti anda pasti akan menyesal sudah menolak tawaran ini!”.Jack menimpali jawaban Galang dengan nada yang sedikit tinggi sekaligus mengandaskan rokoknya ke lantai seolah menjadi sebuah pertanda bahwa percakapan dengan pemain terbaik dan pemain flamboyant bernama Galang itu berakhir sudah.
Galang pun mengikuti Jack dari belakang untuk mengosongkan ruangan. Beberapa jurnalis masih terlihat bercakap-cakap disekitaran lorong menuju loker room. Galang sedikit berteriak “Tolong dicatat ya teman-teman media. Saya akan berada disini selamanya. Sampai klub ini tidak membutuhkan tenaga saya lagi”.
Jack agen dari Jacatra Utd itu mendengar dengan fasih omongan yang baru saja keluar dari mulut Galang, Ia hanya bergidik meninggalkan kerumunan. Begitulah cara pemain muda memberikan loyalitasnya, Ia seakan berbalas budi kepada klub yang telah memberikannya kesempatan untuk menjadi seperti sekarang ini.
Seperti déjà vu, dulu ayahnya sering menolak tawaran menjanjikan dari klub-klub besar, bedanya, Galang sudah bermain untuk klub profesional sedangkan ayahnya belum sama sekali menjadi pro alias pemain tarkam saja.
Keesokan harinya, telepon genggam Galang tak berhenti berdering sejak pagi gulita. Di mess Batavia FC ia baru membuka matanya ketika jam menunjukan pukul 08.00 WIB. Boleh ditoleransi, mengingat malam kemarin Galang menjadi awak tim paling sibuk, Ia baru pulang ke mess jam 00.45. Pemain Batavia berkumpul di teras mess seakan melanjutkan pesta dengan cara yang sederhana; ngopi santai.
Suara percakapan memenuhi udara tiada henti. Saling bergantian menceritakan manisnya hari kemarin. “Gue kira kita bakal habis pas si Galang gagal eksekusi penalty. senewen gue!”Ummar dengan nada yang sedikit gembira mengulas saat-saat getir timnya itu.
“Ah, gue sih udah punya feeling kalo kita bakal menang. Semaleman gue udah berdoa, tahajud, gak tidur cuma bisa komat kamit agar kita juara”. Danial meneruskan percakapan. “Eh, pemain lawan juga sama kali, mereka doa, tahajjud, bahkan gak tidur kayak lo. Riya banget sih lo pake diceritain segala”. Ummar dengan nada khas orang betawi yang nyablak sedikit menggerutu.
“Tapi doa gue lebih manjur kan Bang? Hahaha”.Tandas danial sambil mengeksekusi secang kopi. “Serah lo aje deh, gue gak ikut-ikutan kalo urusan beginian, musyrik juga gue percaya sama lo”. Bang Ummar dengan kesenioritasannya dan sikap dinginnya selalu mampu menciptakan kesegaran bagi awak tim, seluruhnya, disaat itu juga mereka tertawa bersama.
“Duludulu, si kapten kemana nih gak nongol-nongol dari tadi. Bangunin gih, masih idup kagak?” Bang Ummar kembali mengubah suasana dari kegembiraan menjadi semakin heboh. Tak berselang lama, Galang datang dengan menenteng secang teh panas dan harian olahraga Batavia Ekspress, Jacatra Sport, dan Giacarta Post. “Pagi abang-abang semua!”Galang menyapa dengan semangat. “Liat nih gue jadi headline lagi, biar kapok mereka ngejar-ngejar gue”.Handphone Galang kembali berdering dari nomor yang tak dikenal, Galang mencoba mengangkatnya siapa tahu saja penting. Dan ternyata tak penting-penting amat, sambungan telepon tersebut dari agen pemain lagi.
“Bapak sudah lihat berita di koran pagi ini? Itu jawaban saya untuk seluruh tim dan agen yang merayu saya”Galang menutup percakapan, sedangkan lawan bicara di ujung telepon sana masih menggerutu. Pagi itu halaman headline di penuhi dengan pemberitaan tim Batavia FC yang berhasil menggondol juara, tapi tidak semua media yang memilih tajuk tersebut. Ada yang masih saja asyik memberitakan pemain flamboyant itu.
Beberapa menulis di halaman utama dengan judul “Kesetiaan pria flamboyant”, “Sampai mati, sampai menutup mata, untuk Batavia FC”.Tapi saat itu juga Galang seolah menjadi pemenang yang telah berhasil mengalahkan para agen, para pencibir, dan tentunya para penuduh bahwa Galang seorang flamboyant di dalam maupun luar lapangan.
Ia tak sudi bergonta-ganti tim hanya karena uang, apalagi popularitas. Tapi, label “il flamboyant” tetap menempel kuat sebagai nama panggung-nya di lapangan hijau. Flamboyan yang selalu dikerumuni bek lawan, bergonta-ganti, nomor punggung, dan permainan yang terlihat wah tak ubahnya kehidupan pria metroseksual yang melambangkan flamboyant seutuhnya. Hanya sebatas itu saja, dia bahagia dikenang sebagai flamboyant yang setia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H