Bagi Galang menjadi pesepakbola adalah cita-citanya dari dulu yang tak pernah berubah sedikitpun. Ketika ditanya, Ia selalu menjawab secara konsisten ‘ingin menjadi pemain bola’. Ayahnya seorang pemain tarkam yang tidak pernah dikenali oleh banyak orang. Yang membuat Ridwan Setiawan (ayah Galang, red) tidak pernah mencicipi kompetisi level nasional adalah bukan karena skillnya yang kurang mumpuni namun karena itulah pilihannya.
Menjadi pemain tarkam adalah pilihan. Berkali-kali dipertengahan tahun 1990-an rumahnya didatangi pelatih, tim scouting, hingga agen pemain. Namun, berkali-kali pula Ridwan menolak tawaran menjanjikan para pengendus bakat sepak bola itu.
Sampai Danur Mindo, Indra Thohar, dan Pieter Black memohon kepada kakeknya Galang agar bisa membujuk anaknya untuk bergabung dengan salah satu dari tim mereka. Nyaris, talentanya terdengar hingga seantero nusantara. Namun keukeuh Ridwan terhadap pendiriannya untuk menjadi pemain tarkam. Alasannya sederhana, lebih sederhana dari membuat mie instan. Yakni; tidak ingin jauh dari keluarga dan takut dengan popularitas.
Alasan yang terdengar begitu klasik bagi orang-orang kampung macam keluarga Ridwan Setiawan. Bakat-bakat sepak bola dikampungnya tak jarang jadi bidikan talent scouting dari pelbagai klub nasional. Mungkin, Galang sedikit mendobrak tradisi primitif itu dengan pergi meninggalkan kampung dan keluarganya untuk ikut bergabung dengan salah satu klub populer di Ibu kota. Batavia FC. Ketika usianya belum genap 17 tahun, 15 tahun 45 hari Galang meninggalkan keluarga sekaligus mendobrak tradisi primitif lingkungannya.
24 bulan kemudian, selepas Galang dijemput oleh Karl Pieters salah satu utusan pemandu bakat tim Batavia FC, Ia merenung dipojokan lapangan itu. Percakapan dengan pelatihnya terus berlangsung hingga para pemain lain dalam tim itu bersantai di mess Batavia FC.
“Dibalik popularitas yang kamu resahkan itu justru ada nilai positifnya. Kamu dikenal bukan hanya oleh masyarakat bola tapi juga oleh pelatih-pelatih nasional kelas A. Dan, bukan tidak mungkin dengan bantuan Pers itu suatu hari kamu bisa dipanggil memperkuat tim dengan level yang lebih baik”,Coach Rico mengakhiri percakapan dan mengajak Galang untuk segera mandi sekaligus beristirahat di Mess.
Keesokan harinya, seluruh tim berkumpul di teras, tepat ketika jam dinding di Mess menunjukan pukul 14.30. Tidak ada latihan sore itu, itulah waktunya seluruh awak tim Batavia FC bertarung termasuk striker flamboyan mereka, Galang Suryadireja, bertarung habis-habisan guna menerima tiket gratis untuk lolos ke Primer League alias kompetisi tertinggi di sepakbola negerinya.
Menuju pemberangkatan ke Stadion Tugu, tim terlebih dahulu menerima briefing dari Coach Rico sekaligus berdoa bersama. Namun, wajah muram masih menghiasi Galang, entah karena ia benar-benar gugup untuk menjalani laga final atau karena masih menyembunyikan keresahannya itu.
Ruang ganti tim terasa begitu dingin sore itu, Galang, Jeki, Ummar, Salim, Ricardo, dan seluruh pemain inti mengalami ketengangan yang sulit lagi disembunyikan. “5 menit lagi..!” salah satu panpel memberi pengumuman singkat di ujung pintu loker room.
Coach Rico masih terlibat dalam diskusi serius dengan Assistan-nya sedangkan pemain Batavia mulai berbaris rapih menuju lorong stadion. Galang berada di barisan pertama, menandai bahwa dirinya adalah kapten tim pada sore itu.
Bukan saja karena tensi partai final yang membuat Galang terlihat gugup melainkan juga karena di tribun kehormatan ada sosok penting yang menganalisa permainannya. Pelatih Timnas U-19, Farhan Yunus.