Masih segar di ingatan ketika Achmad Jufriyanto, Firman Utina, Muhamad Ridwan, Supardi Nasir, Ferdinand Sinaga, dan Konate Makan membawa Persib ke puncak tertinggi sebuah kompetisi bernama ISL 2014 dan turnamen Piala Presiden 2015.Â
Dua trofi juara berhasil disimpan dalam kenangan dan lemari prestasi Maung Bandung. kelak nama-nama yang tercantum di daftar pemain Persib musim itu akan di cap sebagai legenda tak ubahnya Robby Darwis, Djadjang Nurdjaman, Sutiono Lamso dkk di musim 1995.
Beberapa waktu lalu sebagian atau seperempat pemain juara yang sehabis Piala Jenderal Sudirman tidak lagi berjersey biru kini mulai merapat kembali, terhitung ada dua pemain yang melengkapi barikade quartet pertahanan, Achmad Jufriyanto dan Supardi Nasir. Alasannya tak bukan adalah untuk mempertahankan gelar juara.Â
Ya, mengembalikan mereka agaknya bisa dibilang logis dari pada harus membentuk skema bertahan baru dari pemain yang sebelumnya tak mengerti tradisi dan tekanan besar bobotoh. Mengingat juga quartet ini; Achmad Jufriyanto, Vladimir Vujovic, Supardi Nasir, dan Tony Sucipto merupakan kombinasi sempurna dari yang pernah ada setelah era Kang Robby Darwis.
Masih dari lini pertahanan, Wildansyah pun dipanggil pulang oleh pelatih Djanur, walaupun pemain yang satu ini tidak ikut serta membantu Persib juara di dua kompetisi itu, akan tetapi, rasanya dia tetap menjadi simbol generasi emas sepakbola Bandung, apalagi Ia mengantarkan Pelita Bandung Raya (PBR) ke semifinal ISL 2014. Pemain bernomor punggung 4 ini mengawali karir di tim Persib, maka tak heran jika Ia sudah cukup dikenal dan mengenal betul tekanan Bobotoh. Agaknya untuk urusan adaptasi Wildan tak perlu berlama-lama untuk mengklopkan diri dengan rekan-rekan lamanya.
Memang Firman Utina, Muhamad Ridwan, Ferdinan Sinaga, dan Makan Konate masih belum bisa dipulangkan. Akan tetapi, dengan kehadiran Dedi Kusnandar, Matsunaga Shohei, Sergio van Dijk, dan Erick Weeks Lewis sedikit banyak mengurangi keompongan tim Maung Bandung di sektor kreatif (tengah dan depan, red). Dado sapaan akrab Dedi Kusnandar punya visi bermain yang mirip dengan Firman, mulai dari akurasi umpan, pergerakan, hingga tembakan ke gawang.
Mengembalikan Matsunaga Shohei pun bisa dikatakan tepat jika pakem permainan mengacu ke tahun 2014. Shohei bisa dijadikan sebagai pengganti M.Ridwan dan bisa bermitra dengan Tony Sucipto maupun Supardi, dengan pengalaman dan kematangan, kedatangannya dirasa cukup untuk memenuhi level tim Persib tahun 2014.Â
Kemudian, sejak jauh-jauh hari Persib kedatangan eks pemainnya di musim 2013 yang identik dengan kepala pelontos, Sergio van Dijk, di pertengahan hajatan ISC 2016 Djanur dipusingkan dengan mandeknya lini serang warisan Dejan Antonic pelatih sebelumnya.
Dari pergerakan, Sergio memang daya jelajahnya tidak seluas Ferdinan mengingat dia adalah striker murni yang memiliki karakter macam Cristian Gonzales. Namun, ditanya soal gol, Sergio tak kalah tajam dari striker siluman (false nine, red) bernama Ferdinan Sinaga itu. Kombinasi apik Febri Bow-Sergio di akhir ISC 2016 membuat manajemen dan tim pelatih mempertimbangkan hal lain untuk tidak memasukan nama Sergio ke dalam daftar cuci gudang pemain musim ini.
Kedatangan Erick Weeks Lewis memang tak pernah diduga sebelumnya, mungkin Erick tak pernah ada dalam rencana manajemen kalau saja perekrutan Patrick Cruz dan Vitor Saba tak menemui kata gagal. Erick adalah opsi kesekian, bisa dikatakan juga opsi darurat dari manajemen dan tim pelatih. Sehingga dari transfer ini memunculkan kesan panic buying.
Bisa saja manajemen mengelak bahwa Erick memiliki kesamaan karakter seperti Makan Konate. Namun, Konate tetaplah Konate yang memiliki dan memahami konsep bermain sepakbola secara gamblang, Bertahan, menyerang, dan transisi. Konate bisa melakukan ketiganya dengan sama baiknya.
Panic Buying ditengarai bukan hanya karena transfer Erick Weeks saja, melainkan juga ketika memboyong ulang Shohei Matsunaga. Tidak sedikit Bobotoh yang mengernyitkan dahi ketika mendengar nama tersebut diresmikan di Graha Persib oleh manajemen. Mengacu pada penampilannya yang tak spesial-spesial amat di musim lalu bersama Persiba Balikpapan, dia berhasil produktif namun dengan catatan sebagai eksekutor penalti. Ya, kalau urusan penalti Vlado (Vladimir Vujovic, red) pun bisa produktif sebagai bek.
Kecuali dengan rekrutan paket Jufriyanto-Supardi-Wildansyah dari Sriwijaya FC, tidak ada masalah berarti. Karena tenaga dan kualitas mereka masih sangat dibutuhkan. Beda dengan Shohei, untuk posisi sayap berkaca pada ISC lalu, Persib cukup mubazir, apalagi setelah kehadiran little star Febri Haryadi. Pertanyaannya, apakah kemampuan Shohei akan termaksimalkan musim ini?
Erick Weeks juga, apakah dia bisa memenuhi ekspetasi Makan Konate 2.0 (generasi kedua, red)? Masih berintropeksi dari musim lalu ketika ISC berjalan, Persib tidak maksimal di sektor playmaker, disana ada nama Robertino Pugliara dan Marcos Flores tapi keduanya tidak bisa memenuhi ekspetasi sebagai pengganti Konate.
Dari kasus itu, kita bisa simpulkan bahwa talent scouting pemain asing di Persib bahkan klub-klub lain di Indonesia masih bisa dikatakan belum sempurna, sekalipun mereka terkoneksi dengan agen pemain terkenal dan punya segudang pemain hebat namun dirasa kurang begitu efektif jika hanya mengandalkan agen pemain saja. Bisa saja kemelut transfer Patrick Cruz-Alex William dan Vitor Saba terus terulang.
Kita mungkin tak mengenali betul nama-nama Leonardo Araujo atau Francis Cigagao. Mereka adalah dalang di balik bintang-bintang Eropa dan Dunia macam Ricardo Kaka. Leonardo merupakan satu dari sekian banyak talent scouting (pemandu bakat, red) di benua biru yang membuat klub-klub besar bisa melakukan kaderisasi pemain dengan baik.
Di Indonesia saya baru mendengar nama Indra Sjafri yang mau blusukan mencari pemain hingga ke pelosok daerah terpencil di nusantara. Entah karena baru coach Indra saja yang diekspos atau karena memang benar-benar tidak ada lagi selain dirinya. Hakikat seorang talent scouting adalah mengidentifikasi, menemukan, dan mengembangkan talenta seorang pemain. Agaknya disini kita hanya cukup dengan mengidentifikasi dan menemukan karena pemain asing sudah kenyang akan pengalaman dalam artian mereka sudah berkembang di kompetisi lain.
Sekurang-kurangnya dengan identifikasi dan penemuan tersebut tidak ada lagi pemain asing yang penampilannya standar seperti pemain lokal. Toh dengan dicantumkannya pemain asing ke kompetisi dalam negeri tidak bukan untuk menularkan pengalaman, skill, dan kelebihan lain yang mereka miliki ke pemain lokal. Semoga pandangan panic buying saya terhadap Erick Weeks dan Matsunaga Shohei adalah salah.
Kedepan, untuk perekrutan Willie Overtoom perlu diidentifikasi terlebih dahulu. Bukan dari rekaman video saja karena saya yakin jika menganalisis berdasarkan rekaman video yang ditampilkan hanya skill-skill menawan saja. karena pemain Kamerun yang kabarnya direkomendasikan oleh Sergio ini nantinya akan menjadi opsi kedua setelah Erick yang berarti dia disiapkan sebagai penerus Konate Makan. Separuh nyawa tim Maung Bandung ketika jawara ISL 2014.
Kita tengah mempelajari kata baru ‘talent scouting’ dari Skenario Mercato (bursa transfer, red) Persib yang terendus sedikit berbau panic buying. Agar kedepannya panic buying tidak lagi tercium sebagai wabah suudzon supporter ke pihak klub. Sekalipun manajemen dan tim pelatih punya rencana, jika dilihat dalam kondisi merekrut pemain dalam ketergesaan seperti itu tetap saja tak ada artinya. Kita hanya bisa mengartikan semua yang terjadi adalah panic buying. Betapa pentingnya talent scouting pemain asing demi melancarkan kaderisasi pemain kunci di sebuah tim. Kita perlu belajar, supaya aktivitas rekrutmen pemain lebih testruktur dan sistematis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H