foto koleksi pribadi dari  Adi Andrian
Sabtu malam, saya terlibat sebuah perbincangan singkat di BBm dengan kawan diskusi saya mas Andi Sururi –redaktur di kanal Detik Sport- soal Kongres Luar Biasa ( KLB ) PSSI yang akan digelar besok harinya , ahad 17 Maret 2013.  Sebuah diskusi yang diakhiri dengan sebuah kesimpulan pendek meminjam satu kata yg ditulis oleh seorang penulis yg luar biasa Zenr, Pseudo Rekonsiliasi, atau bolehlah disebut sebagai rekonsiliasi sebagai hasil dari KLB PSSI tersebut.
Goldie Bristol dan Carol mengatakan rekonsiliasi adalah sebuah proses berdamai kembali pihak berseteru dengan memberikan pengampunan bagi sebuah kesalahan dan menghapus perbedaan dengan bersepakat saling memberi ruang yang sama, saling menghargai, saling menghormati dan tidak lagi saling menyakiti antara satu dengan yang lain.
makanya dalam sebuah proses rekonsiliasi selalu dihindari hal-hal yang berpotensi menyakiti kembali, jika ada point yang ditawarkan satu pihak pasti ditanyakan pada pihak lain apakah keberatan dengan tawaran tersebut.
Nah, jika Rekonsiliasi di depannya di bubuhkan kata Pseudo yang berarti semu, palsu, bukan yang sebenarnya, maka semua proses berdamai kembali dengan memberikan pengampunan bagi sebuah kesalahan dan menghapus perbedaan dengan bersepakat saling memberi ruang yang sama, saling menghargai, saling menghormati dan tidak lagi saling menyakiti antara satu dengan yang lain hanyalah sebuah topeng untuk menutupi maksud sebenarnya dari sebuah rekonsiliasi yang dilakukan.
Sampai Minggu pagi saya masih berharap soal pseudo rekonsiliasi itu tidak lah terjadi dan KLB memang membawa sebuah arah kebaikan bagi sepakbola Indonesia, bukankah beberapa tulisan saya di kanal Kompasiana ini selalu mendorong semangat rekonsiliasi juga ?
Kekhawatiran saya soal Pseudo Rekonsiliasi mulai muncul ketika mendapatkan informasi munculnya agenda tambahan diluar agenda yang sudah di approve FIFA dan AFC yang dipaksakan untuk disetujui pada agenda KLB sebagai bagian dari kepentingan satu kelompok ( KPSI ), hegemoni arogansi menjadi dasar dengan menjadikan voter KLB sebagai alat.
Apa saja agenda tambahan tersebut :
1.Penetapan waktu Kongres Biasa yang sebenarnya tidak perlu dilakukan karena di tahun 2013 PSSI pasti akan mengelar kewajiban 1 kali kongres biasa yaitu Kongres Tahunan PSSI di akhir tahun sebagai ajang mengevaluasi dan meminta pertanggung jawaban kinerja pengurus PSSI serta menetapkan rencana kerja tahun selanjutnya, selain itu bukankah semua agenda 'rekonsiliasi' sudah di selesaikan di KLB ?
2.Menetapkan secara teknis hal hal terkait kompetisi yang seharusnya sesuai dengan Statuta merupakan domain Exco PSSI, KLB harusnya hanya menetapkan kesepakatan bahwa di tahun 2014 PSSI harus menggelar hanya 1 liga, hal-hal teknis ditetapkan diluar kongres dan dibawa sebagai bagian dari program kerja di Kongres Tahunan
3.Men-skor 6 exco dan melakukan penambahan 4 exco baru tanpa melalui prosedur komite pemilihan dan komite banding.
dan .... semua agenda tambahan itu dibuat hanya untuk mengakomodir kepentingan satu kelompok yang berseteru, KPSI
ya inilah gambaran Pseudo Rekonsiliasi, rekonsiliasi semu tanpa kekuatan dan kebesaran hati, begitu ada celah untuk memaksakan satu kehendak diluar kesepakatan , bukannya bersabar dan menahan diri tapi malah menunjukan sebuah hegemoni arogansi. Ya semua ini memang harus di lakukan leh KPSI, karena moment seperti ini tidak mungkin datang dua kali. Â ambil alih yang bisa diambil hari ini dan lakukan sisanya esok hari
dalam tulisan ini saya hanya akan bahsa soal unifikasi kompetisi, soal lainnya termasuk indikasi kembalinya para mafia saya bahas di tulisan yang lain, mari kita bandingkan 2 format unifikasi kompetisi yg di presentasikan di dalam KLB berikut ini :
Mana yang memiliki nilai dan makna unifikasi ? apakah layak persoalan teknis diputuskan dengan voting floor tanpa pemungutan suara atau tanpa memberi ruang kepada klub ISL dan IPL untuk memberikan pendapat karena merekalah sebenarnya pemilik mandat sejati yang jadi objek dalam unifikasi liga ini.
Dan kita semua tahu, KLB memilih usulan ISL sebagai format unifikasi, inilah bukti nyata dari apa yang saya namakan Pseudo Rekonsiliasi. Sebuah kepura-puraan yang muncuk dari ketidak tulusan hati.
Apakah peserta kongres yang mayoritas adalah kelompok KPSI menyadari dan sadar bahwa putusan itu telah merampas hak klub yang berkompetisi secara benar di bawah juridiksi federasi ? apa salah klub yang berkompetisi di bawah juridiksi federasi sehingga harus di marginalkan ? bukan kah klub-klub tersebut telah menjalankan kewajibannya sebagai anggota federasi sesuai dengan Statuta Pasal 15 sehingga wajib juga di jaga haknya seperti yang diatur di dalam Statuta Pasal 14 ? bukankah ketika klub yang 2 tahun berada di luar juridiksi federasi melarang pemainnya utk membela teamnasional Indonesia dan malah membentuk team tandingan, klub-klub yang berkompetisi di bawah juridiksi federasi mengambil peran dan tanggung jawab memberikan pemainnya untuk bela Indonesia, apakah itu sebuah kesalahan sehingga harus di marginalkan oleh KPSI dan KLB ?
Semua klub yang berkompetisi baik di ISL atau IPL seharusnya memiliki hak dan kedudukan yang sama sebagai member sebuah federasi, hak dan kewajibannya di atur dan dilindungi di dalam statuta, tidak boleh ada yang dimarginalkan, itulah rekonsiliasi sesungguhnya.
Jika benar ini adalah sebuah rekonsiliasi, maka seharusnya rekonsiliasi bisa menjamin hak – hak yang dimiliki oleh klub anggota PSSI apalagi jika klub tersebut telah menjalankan kewajibannya sesuai dengan Statuta PSSI. Yang melanggar kewajibannya saja di lindungi, masa yang menjalankan kewajiban dimarginalkan.
Usul yang dibawa oleh KPSI, mohon maaf menurut pendapat saya jelas-jelas adalah usul yang menunjukan sebuah hegemoni arogansi dan wajah sesungguhnya dari sebuah pseudo rekonsiliasi. Biarkan proses seleksi dilakukan dengan cara yang lebih egaliter, beradab, fairness dan dengan standar kualifikasi yang jelas – licence AFC/FIFA – misalnya. Jika hasilnya kompetisi teratas diisi oleh mayoritas dari salah satu kompetisi saat ini, semua pihak pasti tidak akan merasa keberatan karena prosesnya yang fairness, adil dan menjaga hak semua klub anggota PSSI.
Atau IMHO, soal kompetisi ini harusnya di berikan kepada sebuah badan independen di luar kedua pihah untuk membuat rancangan skema unifikasinya sehingga dapat menghindari sebuah kepentingan balas budi kelompok dan memarginalkan tanpa dasar dan alasan yang kuat karena sebagai bagian dari proses balas dendam.
Dahulu ketika melakukan unifikasi Perserikatan dan Galatama, semua klub diberikan hak dan kesempatan yang sama berada dalam satu cluster kompetisi sebelum di lakukan kualifikasi eleminasi
Dulu di tahun 2010 pun, PSSI hanya berikan 4 tempat saja kepada klub yang bermain di luar juridiksi federasi karena mereka anggota PSSI untuk melengkapi 18 klub yang bermain di dalam juridiksi federasi sebagai bagian dari proses normalisasi liga, yang kemudian ditentang dan dilawan oleh klub-klub yg bermain di dalam juridiksi federasi tsb sehingga mereka membuat breakaway league selama 2 tahun samai 2013 ini.
Hari ini, dengan hegemoni arogansinya .... mereka yang dulu menentang masuknya 4 klub yg bermain di luar juridiksi federasi tersebut hanya memberikan 4 tempat bagi klub yang bermain di bawah juridiksi federasi dan memberikan tenpat lebih banyak kepada klub yang bermain di luar federasi, pertanyaan saya ? apakah mereka masih memiliki hati Indonesia ? masihkah mereka melihat bahwa klub yang berbeda dengan mereka sikapnya hari ini adalah musuh yang harus di tumpas dan dimarginalkan ?
Jika memang masih seperti itu, orang-orang yg mengurus Sepakbola Indonesia baik di klub atau federasi memang tidak layak untuk dicintai dan mereka tidak layak mendapatkan hati Indonesia ! dan rekonsiliasi hari ini adalah pseudo rekonsiliasi , itu saja.
Wallahu’alam
FIN
@gilang_mahesa
Tetap mencintai Indonesia tanpa pseudo (kepalsuan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H