Mohon tunggu...
Politik

Saya, Marxis

17 Oktober 2017   21:31 Diperbarui: 17 Oktober 2017   21:53 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendorongan bahwa Marxisme telah kukuh di pemikiran seseorang-lah yang menjadi kelemahan utama dari paham ini pribadi. Saya mengakuinya juga.

Ketiga, bukankah Marxisme sendiri sudah tidak bekerja dan mempan lagi buat negara kebanyakan sekarang, dimana contohnya seperti Cina telah menganut nilai-nilai kapitalis? Memang benar, dan inilah pertanyaan yang perlu dikembalikan kepada intelegensia-intelegensia progresif berhaluan seperti saya. Bagaimanakah langkah yang perlu diambil untuk menangani masalah kekunoan sistim ekonominya sendiri yang menistakan proses impor sebagai suatu bentuk hegemoni? Ini sebenarnya belum terjawabkan sampai sekarang dan saya juga belum mempunyai jawaban, walaupun, sebagai ideologi terbuka (dengan pengalaman praxisdan buku-buku teori cendekiawan-dalam sebagai bahan pemelajaran) Marxisme dapat dikembangkan untuk memilikinya. 

Saya dapat menjelaskan lebih mendalam walaupun akan berisiko untuk membuat tulisan ini semacam pamflet ilmiah meski, singkat kata; menurut saya, Pancasila, yang selaras dengan cita-cita Marxisme, sudah punya terlebih dahulu terhadap pertanyaan ini. Namun mengapa jika demikian, saya menganggap diri sebagai seorang Marxis?

Seraya pemanfaatan nama Pancasila yang amat menjadi-jadi ke tujuan lebih melenceng---fasisme soak-otak (atau tanpa pemikiran lebih lanjut) sekarang, fasisme militeris dahulu, propaganda pembohongan lewat pendidikan dan terlebih utamanya neoliberalisme yang makin merebak---sudah lebih baik jika saya berdiri, dan baik pula bagi kebanyakan kamerad-kamerad sejawat saya, sebagai seorang Marxis ataupun Marhaenis; karena didalam sejarah para Marxis sendiri tak ada yang memutuskan untuk berkorupsi, tak seperti orang-orang yang mengaku Pancasilais namun main sama harta rakyat. Tak ada yang memutuskan untuk menggelondongi orang demi orang karena menganut paham agama berbeda daripada para anggota Partai. Tak ada diantara para pejabat Marxis dahulu slenge'andalam bertugas; tidur saat rapat, segalamacam.

Keempat, bukankah Marxis-Marxis telah menggasrak banyak korban jiwa dahulu? Terry Eagleton sempat melayangkan-balik pertanyaan ini dengan sebuah pertanyaan; bukankah konservatisme telah melakukan hal yang sama? Bukankah liberalisme telah melakukan hal yang sama? Liberalisme yang paling parah, menurut saya. Ia telah memiskinkan orang-orang dalam hitungan jutaan, membuat mereka pengangguran pula; sedangkan Marxisme tak se-berlebihan ini. 

Kemiskinan dan pengangguran juga membunuh dibanding bekerja selaku mengabdi untuk negara serta pembebasan internasional; diantara kami, mengistilahkannya sebagai internasionalisme, namun ini dapat ditafsirkan sebagai nilai penghapusan penjajahan diatas dunia pada ayat pertama UUD 1945 karena eksploitasi imperialis ataupun fasisme juga sama persis seperti eksploitasi kapitalisme walaupun beda dalam keras penerapannya.

Kelima adalah pandangan PKI telah menjadi dalang penyiksaan ketujuh jenderal pada saat G30S lalu. Walaupun di saat-saat sekarang ini sudah tiba titik yang jelas; dimana tak ada bukti PKI benar-benar memprakarsai gerakan ini walaupun yang mengetahui adalah pihak-pihak pimpinan. Hanya' saja! Jika semuanya tahu, berarti itu mewakili PKI secara sebenar-benarnya---namun saya sisihkan semua ini untuk sementara, dengan mengatakan bahwa kesalahan PKI pada dahulu bukanlah kesalahan kita yang di kemudian waktu telah paham betul tentang rentang perjalanan sejarah negara kita sehingga memutuskan untuk menjadi seorang Marxis dan berfikir progresif untuk masadepan Indonesia. Film Pengkhianatan G30S/PKIpula telah diakui sebagai stigma Orde Baru untuk menggemborkan PKI dengan sejelek-jeleknya; menistakan jasa Aidit membebaskan kaum-kaum wong cilikdahulu pula serta perangainya pula sebagai seorang pemimpin.

Singkat kata, gerakan wacana kiri masihlah semata dalam titik terlemahnya; dan jika akan berkembang, tentulah akan berbeda jauh dari perihal 'kediktatan' yang terjadi pada dahulu kala. Kami menggandeng semuanya selagi itu sesuai dengan cita-cita kami; anti-eksploitasi dalam bentuk apapun. Kami tak menganggu Anda yang beragama Islam selama agama itu tidak digunakan untuk melanggar hak seseorang dari rakyat atau wong cilik.

Jika Anda seorang Pancasilais, kami mafhummenjadi kawan kalian karena impian kami juga setara dengan ketiga nilai tersebut; yang juga dimiliki ideologi Pancasila. Kami takkan menganggu selagi semua orang yang tertindas tidak diganggu; namun tentunya tanpa adanya kekerasan fisik dan verbal secara tidak berbobot diantara kita berdua karena kami paham akan adanya periode penindasan dalam sejarah negara kita yang masih berlanjut sampai sekarang.

Kami takkan mengulangi luka yang kami dan kebanyakan rakyat telah alami sendiri; walaupun ada separuh dari kalian mengikuti arus pesohor-pesohor yang melakukan demikian. Selagi kalian berkisar dalam anti-idealisme (terutamanya Kompasianer sekalian yang sering membuat artikel mengenai orang-orang miskin, suatu fenomena sosial yang miris, namun tak ada retorika tekad untuk mengubahnya melainkan hanya sekedar eksposisi), kami tetap berada di terdepan memperjuangkan hak rakyat tertindas sebagaimana kewajiban kami. Inilah sekiranya, kami semua---termasuk saya, tanpa memandang ras ataupun agama.

17/10/2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun