Di hari Rabu kemarin (19/04), ditengah-tengah terjadinya Pilkada yang berakhir dalam gelar oleh individu-individu tertentu lewat awak media televisi swasta bahwa 'Jakarta telah pintar berdemokrasi', harian online Tirto.id memposting terjemahan artikel tulis Allan Nairn yang mengekspos keterlibatan pemerintah Donald Trump, beberapa pejabat tertentu serta keseluruhan pimpinan tertinggi TNI dalam gerakan Islami yang melanda Ahok pada bulan November-Desember silam.Â
Kalau dipandang sekarang, pandangan tersebut bertimpang balik dengan amat cepat karena mereka tak bisa dianggap demikian, termasuk jajaran aparatur tertingginya sendiri. Contoh-contoh lebih mengerikannya adalah seperti berikut, ketika Anda membaca balasan dari cuit Nairn.
Saya tak kenal pribadi dengan Allan Nairn, walau saya kenal pribadi terhadap konsep-konsep kebebasan dalam bersuara. Kasus Nairn bukanlah pertamakali yang ia dapatkan berupa ancaman hukum, baik itu terhadap dirinya sendiri maupun jurnalis-jurnalis lain; baru ini, di hari Jum'at, sebuah laporan rahasia bocor dari seorang jurnalis lepas ternama Glenn Greenwald (dan juga pendiri The Intercept, tempat awal karya tulis Nairn diterbitkan), bahwa Departemen Hukum Amerika Serikat telah merencanakan perintah tangkap terhadap pendiri Wikileaks, Julian Assange--yang juga dikenal sebagai pemberi materi-materi hangat bagi para jurnalis investigatif lewat tiap dokumen-dokumen rahasia pemerintah yang telah ia bocorkan.Â
Rencana ini datang tak terlalu lama setelah organisasinya membocorkan bahan-bahan surveilans CIA, diberi istilah 'Vault 7', yang telah digunakan secara luas seperti metoda NSA sendiri. Meski memang nampak benar bahwa Wikileaks lebih terlihat seperti organisasi 'whistleblower', namun cara bekerjanya amat investigatif dengan menggunakan pihak-pihak yang berkeinginan untuk membangkang, sebagaimana jenis jurnalis yang saya sebutkan tadi. Ancaman bagi Assange ini menuai banyak kecaman, termasuk partai progresif Green Party yang mengutarakan dukungannya terhadap Assange.
Yang lebih mencenggangkan adalah saat dokumen-dokumen awal Snowden merebak; dimana kekasih Greenwald, David Miranda, sempat tercekal di Bandara Heathrow dibawah Pasal Terorisme tahun 2000 pada bulan Agustus, 2013 silam. Alkisah Miranda baru saja tiba dari Berlin dan hendak untuk beranjak menuju rumahnya di Rio de Janeiro.Â
Berikut dengan perihal yang berhubungan dengan penangkapannya, barang-barang ia miliki termasuk sebuah hard drive berisi dokumen laporan Greenwald yang terenkripsi. Greenwald kemudian mengatakan bahwa pencekalan Miranda sebagai bentuk 'intimidasi terhadap kami semua yang lagi melaporkan tentang NSA dan GCHQ'.
Setara dengan Greenwald dan Assange, Nairn sudah pernah menghadapi ancaman takdir pemenjaraan oleh pihak pemerintah, dan sekali sempat mengalaminya pula di tahun 1999, dan ia juga berperan sebagai salah satu saksi hidup Pembantaian Dili tiga tahun sebelumnya. Baru-baru ini, Nairn lebih banyak menghadapi ancaman; termasuk pada tahun 2010, dimana TNI (sempat pula) mengancam ingin mengambil jalur hukum dan mendakwakannya karena mengekspos peranan militer dalam pembunuhan para aktivis. Sebuah laporan di tengah-tengah Pemilu (27/06/2014) lalu, ia juga terancam akan ditangkap karena mengungkapkan peran Prabowo Subianto dalam perkara tersebut.
Sudah jelas dimana salah dari perkara terbaru ini?
Memandang semua jejeran kasus tadi, Nairn bisa jadi meliput perihal yang aktual dan benar-benar terjadi karena hampir setiapkali ia melakukannya terhadap pihak-pihak lain, berhubungan dengan pemerintah ataupun tentara, ia telah diancam dengan penangkapan, namun kita tak dapat tahu dengan pasti karena semuanya dalam bentuk tertulis. Meski hampir keseluruhan dari berita mengenai aparatur pemerintah dengan cara terburuk telah dibuat seperti di RMOL.co, PKS Piyungan dan segala macam--hanya diantara Tirto dan Allan Nairn saja yang terancam akan mendapatkan pasal hukum karena telah membuat 'berita hoax tentang TNI'.Â
Bahkan hampir dari keseluruhan 'berita-berita hoax' yang telah merebak tentang pemerintah, baru kali ini saja salah satunya terancam akan dikenai imbas pasal hukum. Kendati begitu karena keburaman kebenaran ini, kita sudah seharusnya mengambil peran yang netral tanpa menilai orang-orang tertinggi dibanding seorang jurnalis dan rakyat khayalak sebagai 'yang paling benar', karena TNI juga manusia.Â
Bahkan pihak yang terlibat dalam tulisan Nairn dengan gambaran buruk adalah TNI; sehingga tak heran jika mereka membantah. Namun memberi ancaman untuk menghukum Nairn dan Tirto adalah perkara yang parah dalam negara demokratis ini, bahkan Mayjen Wuryanto sendiri tak membuktikan secara mendetil dalam wawancara apa yang benar dan apa yang salah dari tulisan Nairn. Ketika ditanya demikian, ia hanya bilang begini.