Mohon tunggu...
Gigih Prastowo
Gigih Prastowo Mohon Tunggu... Administrasi - Student

Anak Desa, mantan office boy |Future Finance Expert |Pendaki |Management Student | FEUI 2013 | @gigihprastowo

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

After The Turbulances: Pengetatan Peredaran Dan Produksi Rokok

1 Juni 2014   05:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:52 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Goal kita sama. Spiritnya sama. Rakyat Indonesia harus selamat dan sehat. Jika tidak, mau jadi apa bangsa ini lima atau sepuluh tahun mendatang”, Susilo Bambang Yodhoyono (President Indonesia 2004-2014)

Sudah banyak kajian medik yang menyatakan merokok merupakan perbuatan tidak sehat bagi perokok aktif, terlebih bagi perokok pasif. Sudah banyak kajian tentang Hak Asasi Manusia yang membahas tentang merokok. Beberapa sisi memperjuangkan hak perokok untuk menikmati hobinya (merokok), di sisi lain banyak pula yang memperjuangkan hak-hak para korban perokok (perokok pasif) untuk bisa terbebas dari asap rokok yang banyak mengandung zat-zat karsinogen penyebab kanker. Betapa besar dampak negatif dari rokok. Sehingga sebenarnya kita (terutama yang sering menjadi perokok pasif) merasa bahwa peredaran dan produksi rokok sudah harus lebih “diketatkan”.

Namun banyak faktor yang akhirnya mematahkan semua argument tentang medik, kesehatan masyarakat dan sosial ekonomi ketika dihadapkan pada argument perusahaan-perusahaan rokok tentang tenaga kerja yang mereka serap. Alasan lain berupa pajak yang disetor dan program Corporate Social Responsibility yang diberikan serta hak asasi manusia bagi perokok untuk menjalani apa yang menjadi keinginannya.

Oleh karenanya penulis tidak akan membahas argumen-argumen yang rasional namun terpatahkan tersebut. Penulis akan memandang permasalahan dengan sudut padang core ilmu yang penulis pelajari yaitu Economics Approach dibanding argumen medik dan kesehatan masyarakat yang biasa kita dengar seperti merokok dapat memperpendek umur 10 tahun. Juga seperti yang dahulu ditulis di kemasan rokok : merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi gangguan kehamilan yang kini disingkat menjadi “Merokok Membunuhmu”.

Urgensi Pengetatan Peredaran Rokok

Jika kita mengacu pada Undang-Undang Dasar Indonesia pasal 34 tentang perlindungan sosial ekonomi pada orang miskin, kita akan merasakan urgensinya. Data “Pengeluaran Bulanan Rumah Tangga Perokok Termiskin di Indonesia”tahun 2010 dari Kementrian Kesehatan, pengeluara untuk rokok mencapai Rp. 102.956 atau 11,91%. Sementara, untuk membeli daging hanya sebesar Rp 7.759 atau 0,9%, susu dan telur hanya Rp 19.437 atau 2,25%, ikan sebesar Rp 52.368 atau 6,06%, sayur-sayuran sebesar Rp 49.127 atau 5,68%, pendidikan Rp 16.257 atau 1,88%, dan kesehatan sebesar Rp 17.470 atau 2,02%.

Jika kita merenungi data ini, betapa sekarang kita bisa berpikir bahwa jika tanpa rokok penduduk termiskin yang merokok tersebut dapat meingkatkan belanja untuk pendidikan sampai lima kali lipat dan meningkatkan konsumsi telur, susu dan sayuran secara bersamaan. Prosentase perokok miskin ini juga besar, yaitu 35% dari total perokok Indonesia!

Kemudian kita sekarang mungkin sedang bahagia karena belum lama ini telah disahkan peraturan tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akhirnya melahirkan BPJS kesehatan. Namun bagi pengampu budget, rokok membuat mereka “berkeringat”. Bagaimana tidak, jumlah biaya yang harus dikeluarkan akibat Penyakit Terkait Rokok (PTR) diperkirakan sekitar 39,5 Triliyun atau setara dengan 30% dari yang dikeluarkan oleh (yang dulu dikenal sebagai ) PT ASKES yang kini menjadi BPJS.

Belum lagi jika mengingat jumlah perokok Indonesia yang mencapai 61,5 juta orang yang sebagian besar adalah generasi muda. Bisa dibayangkan 10-20 tahun mendatang, saat dampak rokok mulai mereka rasakan akibat kebiasaannya saat ini. Direktur PT ASKES Indonesia, Dr Fahmi Idris menyatakan bahwa 2030 generasi muda ini akan menjadi lansia yang sakit, jenis sakitnya beragam, namun hampir semuanya memerlukan biaya tinggi (katastropik)!

Bahasan tentang korban jiwa (kesehatan) dan uang (biaya) di atas meskinya cukup untuk membuat kita berpikir bahwa sudah selayaknya rokok sangat dibatasi keberadaannya. Sudah seharusnya 4 butir tujuan Pengamanan Bahan Zat Adiktif berupa Produk Tembakau yang terdapat dalam PP No. 109 tahun 2012 seharusnya mengarahkan pembatas rokok seperti pembatasan minuman keras, lebih ekstrim lagi mungkin akan seperti pembatasan Narkoba.

Jujur, penulis miris melihat Peraturan Pemerintah tersebut. Bagaimana tidak, isinya begitu lucu-memiriskan. Bunyi pasal 12 ayat 1 yang menyebutkan “Setiap orang yang memproduksi Produk Tembakau dilarang menggunakan bahan tambahan kecuali telah dapat dibuktikan secara ilmiah bahan tambahan tersebut tidak berbahaya bagi kesehatan manusia. Sedangkan di pasal 22 pemerintah jelas mengakui bahwa rokok “tidak memiliki batas aman”, ‘mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 43 zat penyebab kanker”. Lalu kenapa yang diatur hanya bahan tambahan? Lha wong rokok itu sendiri sudah terbukti dan diakui berbahaya!

After The Turbulences: Pengetatan Rokok Feasible

“Indonesia sudah teruji di tengah badai dan turbulensi”-Boediono (Wakil Presiden RI 2009-2014)

Indonesia sudah membuktikan diri tahan dari berbagai macam turbulensi yang terjadi setelah kebijakan yang “ekstrim”, “tidak terlalu popular” namun “baik” secara jangka panjang. Katakanlah bagaimana sekarang rakyat Indonesia sudah bisa mulai hidup normal lagi setelah kenaikan tingkat harga yang terjadi akibat kenaikan harga BBM pada 22 Juni 2013 lalu. Kebijakan tidak popular namun baik, karena akan “mengamankan” komposisi fiskal jangka panjang.

Kedua adalah ketika Indonesia kini mulai terlihat kembali stabil, terutama di sektor pertambangan setelah penerapan UU Minierba diterapkan dan larangan ekspor bahan mentah bahan-bahan tertentu dilarang. Menteri Keuangan Chatib Basri juga memperkirakan turbulensi masih akan berlangsung baik di sektor usahanya sendiri dan tentunya berdampak pada penerimaan pajak selama 1,5 tahun ke depan. Namun dalam jangka panjang ini menguntungkan karena kita tidak lagi mengekspor bahan mentah namun lebih pada bahan yang telah memiliki nilai tambah, PHK yang terjadi juga diperkirakan kembali terserap kembali setelah smelter-smelter yang dibangun jadi dan aktivitas penambangan kembali berlangsung.

Jika hendak dikaitkan dengan pengetatatan industri Produk Tembakau, terutama rokok, yang menurut Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menampung 10 juta pekerja tentunya pengetatan pada industri ini tidak bisa dipungkiri akan menimbulkan tubulensi lagi. Namun, dengan kondisi dan pengalaman Indonesia menghadapi turbulensi, jika dilakukan dengan exit strategy yang tepat maka penulis yakin hal itu bisa dilakukan.

Lebih-lebih jika meninjau dari Roadmap Industri Hasil Tembakau (IHT) Kementrian Perindustrian yang secara gari besar berisi:

2001-2010: Prioritas kesimbangan aspek tenaga kerja, penerimaan dan kesehatan.

2010-2015: Prioritas pada aspek Penerimaan, Kesehatan dan Tenaga Kerja

2015-2020: Prioritas aspek Kesehatan melebihi aspek Penerimaan dan Tenaga Kerja

Exit Strategy yang Tepat

Dengan keluarnya PP No. 109 Tahun 2012, penulis melihat bahwa Indonesia yang sedang melakukan Exit Strategy dari IHT (terutama rokok) ini. Pembatasan periklanan, jam tayang di televise yang hanya boleh dari 21.30-05.00. Penambahan gambar dan kata peringatan pada kemasan dan iklan rokok menjadi “Merokok Membunuhmu” (walau kenyataannya juga membunuh orang disekitarnya). Pembatasan aktivitas penayangan sponsorship dan lain sebagainya. Ini baik dan perlu diteruskan. Karena jika alasan penundaannya adalah karena Hak Asasi, maka sangat tidak adil membela Hak Asasi 65,1 juta perokok untuk merokok dan mengorbankan Hak Asasi 200an juta penduduk tidak perokok, hak asasi untuk menghirup udara bebas asap!

Kelanjutan Exit Strategy ini menurut penulis harus direncanakan lagi langkah selanjutnya, terutama setelah 2015 seharusnya aspek kesehatan lebih diutamakan daripada tenaga kerja dan penerimaan. Apakah tenaga kerja di IHT akan terdampak? YA! Apakah mereka sebaiknya dikorbankan saja? BUKAN BEGITU JUGA!

Mungkin penulis belum memiliki rencana spesifik untuk Exit Strategy ini. Namun penulis punya gambaran besarnya secara logis untuk menyusun sebuah Exit Strategy yang ideal:

·Lahan tembakau adalah lahan yang subur sehingga bisa digunakan untuk berbagai laternatif lain, meskipun diperlukan waktu untuk merealisasikannya.

·Pola UU Minerba sangat baik, yaitu memberi kesempatan pada perusahaan pertambangan selama 5 tahun guna membangun smelter sebelum larangan ekspor bahan mentah direalisasikan

·61,5 juta orang perokok, yang artinya mereka punya pos anggaran untuk rokok. Sehingga jika rokok makn terbatas dan tak terjangkau lagi maka pos anggaran ini bisa untuk pos lainnya sehingga ada tambahan potensi belanja masyarakat. Kesempatan untuk bisnis!

·Jika belanja rokok dialihkan, maka sektor lain yang menerima akan berkembang dan siap menampung tenaga kerja korban PHK-IHT

Dengan beberpa premis tersebut sebenarnya cukup feasible bagi perusahaan rokok untuk mengalihkan kegiatan industrinya dengan diberikan waktu dan insentif tertentu. Untuk pengalihan rokok di konsumen sendiri bisa dilakukan dengan cara menentukan Floor Price yang tinggi secara bertahap. Pada tahap pertama dan kedua dinaikan, namun masih dalam level inelastisnya (misalnya 5-10%) tanpa peningkatan pajak, sehingga permintaan tak terlalu berkurang namun pendapatan perusahaan meningkat. Tambahan pedapatan inilah yang bisa untuk mempersiapkan pengalihan kegiatan.

Baru kemudian untuk peningkatan floor price selanjutanya bisa di atas 50% sehingga permintaannnya turun saat perusahaan rokok siap. Saat ini dilakukan tentunya konsumen akan banyak yang menjadi tidak memiliki daya beli terhadap rokok, peningkatan ketiga dan keempat ini tidak perlu dengan penaikan cukai dengan catatan perusahaan patuh untuk menjual produk dengan harga minimal di floor price yang baru sehingga penerimaan tambahan, bisa menutupi kerugian penurunan permintaan. Baru pada kenaikan yang kelima dan selanjutnya kenaikan ada pada cukainya sehingga memaksa perusahan mengalihkan kegiatan produksinya pada produk lain yang sehat.

Harapannya adalah generasi Indonesia mendatang yang lebih baik, yang lebih sehat dan lebih cerdas. Peningkatan kebutuhan gizi dan pendidikan penduduk miskin karena pos anggaran mereka untuk rokok bisa dialihkan untuk pendidikan dan kebutuha gizi anaknya. Sehingga daya saing Indonesia ke depan semakin tinggi. Wallahu’alam

Gigih Prastowo

Perokok Pasif-Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universita Indonesia

Referensi:

http://health.kompas.com/read/2013/11/01/1341283/Tanggung.Biaya.Kesehatan.Perokok.Indonesia.Bisa.Bangkrut.

http://www.kemenperin.go.id/tanyajawab/detail.php?id=3154

http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CTri-2.pdf

http://finance.detik.com/read/2013/01/11/155452/2139852/1036/menkes-orang-miskin-pilih-beli-rokok-belanja-susu--telur-sudah-habis

http://www.promkes.depkes.go.id/images/download/factsheet3conv.pdf

http://economy.okezone.com/read/2013/12/07/320/908850/pemerintah-ratifikasi-fctc-mata-pencaharian-buruh-rokok-terancam

Gambaran Umum Rokok-Kementrian Perindustrian

PP No. 109 2012

Disampaikan pada 29 Desember 2011, di Istana Kepresidenan Jakarta, saat menerima kunjungan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun