Mulai tahun 2014 inilah, PDI Perjuangan dianggap menjadi rival "abadi" dengan Gerindra, kemudian muncul istilah cebong dan kampret yang kita kenal sekarang ini.
Kemudian "peperangan" ini dilanjutkan pada Pilkada DKI Jakarta 2016, dimana PDI Perjuangan mengusung BTP yang kala itu lebih dikenal Ahok sedangkan Gerindra mengusung Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Kemenangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno ini menjadi babak baru dalam peperangan politik PDI Perjuangan dan Gerindra terlebih pada Pilkada Serentak pada tahun 2018 lalu, di mana baik Gerindra maupun PDI Perjuangan memajukan calon masing-masing di tiap daerahnya, sangat sedikit sekali daerah dimanan Gerindra dan PDI Perjuangan menjadi koalisi.
Satu tahun berselang, PDI Perjuangan kembali berhadapan dengan Gerindra pada Pilpres 2019 yang mungkin akan menjadi puncak perseteruan "cebong dan kampret" ini.
Jokowi kembali berhadapan satu lawan satu dengan Prabowo, dan kita semua tahu usai banyak drama yang melelahkan dan berakhir di sidang sengketa hasil pemilihan suara di Mahkamah Konsitusi (MK).
Awalnya Prabowo tidak menerima baik hasil Pilpres oleh KPU maupun sidang MK, namun semakin ke sini terlihat Prabowo lebih legowo, dimulai dari pertemuannya dengan Jokowi yang lalu dan dengan Megawati saat ini.
Sepertinya dendam dan luka politik pada tahun 2014 lalu yang dialami oleh Prabowo mulai mereda dan mulai berbaikan dengan Megawati yang difasilitasi oleh Budi Gunawan, Kepala BIN sekaligus tangan kanan Megawati.
Pertemuan ini juga memungkinkan bisa menjadi langkah awal untuk kesepakatan di tahun 2024 mendatang, di mana Jokowi tidak akan bisa maju lagi menjadi calon presiden yang secara otomatis Pilpres 2024 mendatang akan diisi oleh orang-orang baru meskipun dengan rasa yang "lama".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H