Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kembali memakan korban, dan kali ini korbannya adalah korban dari dari tindak asusila yang seharusnya tidak menjadi korban, yakni Baiq Nuril.
Pada Jumat lalu (5/7) Mahkahmah Agung (MA) menolak permohonan pengajuan peninjauan kembali (PK) oleh pemohon atau terpidana dari Baiq Nuril.
Permohonan peninjauan kembali ini bentuk dari ketidakpuasan terhadap putusan kasasi pada 26 September 2018 lalu yang menghukum Baiq Nuril 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Menurut MA Baiq Nuril terbukti telah melakukan pelanggaran karena telah merekam percakapan mesum Kepala SMA 7 Mataram, Haji Muslim sehingga perbuatan Baiq Nuril tersebut membuat keluarga besar H Muslim malu. Haji Muslim menuntut Baiq Nuril dan akhirnya Baiq dijatuhi hukuman.
Putusan untuk Baiq Nuril yang dirasa tidak adil dan salah kaprah ini membuat Amnesti Internasional mendesak Jokowi dan juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memberikan amnesti kepada Baiq Nuril.
Amnesti Internasional merasa bahwa putusan MA terhadap penolakan dari peninjauan kembali kasus Baiq Nuril ini patut disesalkan karena Baiq adalah korban pelecehan seksual, yang justru harus mendapat perlindungan hukum.
Titik Awal Permasalahan
Awal permasalahan ini dimulai pada pertengahan tahun 2012 silam saat Baiq masih menjadi pegawai honorer di SMAN 7 Mataram.
Kala itu, Baiq ditelepon oleh Haji Muslim (M) dengan durasi kurang lebih selama 20 menit. Dari durasi 20 menit tersebut, pembicaraan tentang pekerjaan hanya sekitar 5 menit dan sisanya (15 menit) si M malah bercerita tentang pengalaman seksualnya bersama perempuan yang bukan istrinya.
Pembicaraan itu pun berlanjut dengan nada-nada pelecehan terhadap Baiq Nuril, dan M pun menelepon Baiq lebih dari sekali.
Akibatnya, orang-orang di sekitar Baiq pun menuduhnya memiliki hubungan gelap dengan M.
Merasa gregetan dengan hal tersebut, Baiq pun merekam pembicaraannya dengan M sebagai bukti bahwa dirinya tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan atasannya tersebut.
Baiq pun 'curhat' permasalahan tersebut dengan Imam Mudawin rekan kerjanya, namun Imam justru menyebarkan rekaman tersebut ke Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Mataram.
Lantas M pun tidak terima karena merasa aibnya terdengar oleh banyak orang dan melaporkan Baiq ke polisi dengan delik pasal 27 ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Rekaman tersebut direkam oleh Baiq dan disebarkan oleh Imam, namun justru Baiq yang dilaporkan oleh M dan dijatuhi hukuman penjara enam bulan dengan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan.
Pasal Karet UU ITE
1
Baiq Nuril yang menjadi koban dan sebenarnya tidak menyebarkan rekaman percakapan antara dirinya dan Haji Muslim adalah korban dari penerapan pasal karet UU ITE.
Kasus Baiq Nuril ini bisa dianalogikan seperti ini; ada rumah yang kemalingan berkali-kali, lalu pemilik rumah dengan sengaja memasang CCTV supaya ada bukti untuk menunjukkan siapa pencuri tersebut. Setelah itu, sang pencuri terekam oleh CCTV yang dipasang dan dipublikasikan untuk memberikan sanksi sosial terhadap si pencuri.
Namun sidang dipengadilan justru memberikan putusan hukum kepada orang yang rumahnya kemalingan dan si pencuri tersebut masih bebas bergerak, kesalahkaprahan inilah yang seharusnya dibenahi, masa orang yang dizalimi dan mencoba membela diri malah menjadi orang yang dihukum, sedangkan Haji Muslim dan Imam Mudawin bebas dari jerat hukum.
Hal ini lah yang menyebabkan bahwa UU ITE harus direvisi kembali, karena UU ITE sudah memakan beberapa korban, tidak hanya Baiq Nuril saja.
Baiq Nuril merupakan satu dari rentetan korban yang didakwa oleh UU IT. Beberapa orang yang dipidana karena UU ITE ini seperti Prita Mulyasari yang menuliskan surat elektronik tentang ketidakpuasannya terhadap pelayanan kesehatan dari RS Omni Internasional.
UU ITE juga menjerat artis dan vokalis band Noah karena tersangkut kasus penyebaran video pornografi.
Beberapa nama lainnya yang juga terjerat UU ITE dan familiar kita kenal ramai di dunia maya seperti Muhammad Arsyad, Buni Yani, Vanessa Angel hingga Ahmad Dhani juga didakwa dengan pasal yang sama.
Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pasal karet dari UU ITE ini seperti hantu yang sedang setia mencari mangsa terlebih dengan tren internet dimana kebebasan berekspresi masih menjadi barang yang tersedia bila kita terhubung dengan internet dan sosial media.
UU ITE menjadi hantu karena sering disebut pasal karet dimana penerapan dari undang-undang tersebut bisa melar manapun dan akibat dari penafsiran yang tidak jelas dari UU ITE, bisa mendakwa orang yang dirasa membuat kita tersinggung dengan delik pencemaran nama baik.
Ancaman UU ITE ini bisa menjerat siapapun yang berusaha kritis atau berkomentar dengan konteks tertentu tapi mengakibatkan ketersinggungan pada pihak-pihak tertentu. Hal ini tentu sangat sulit dihindarkan karena kita bisa mengendalikan apa yang kita tulis, tapi tidak pengertian orang lain. Dalam kata lain, apa yang kita anggap biasa saja, bisa saja malah menghadirkan sentiment negatif yang berakibat pada ketersinggungan dan menimbulkan masalah hukum.
Dengan korban-korban yang sudah berjatuhan akibat dari UU ITE ini, sudah sepantasnya pemerintah meninjau kembali UU ITE ini, dan dilakukan perevisian karena tafsir yang keluar dari undang-undang ini sangatlah luas. Bukannya menjadi senjata untuk melawan ketidakadilan, malah UU ITE bisa menjadi jerat bagi mereka yang hendak melakukan perlawanan, seperti Baiq Nuril.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H