Jadi, omong kosong belaka saat dia bilang melakukan wawancara itu demi memverifikasi fakta sebagaimana dianjurkan mahaguru jurnalistik Bill Kovach.
Diakuinya atau tidak, ia ingin dilihat orang (khususnya warga Jakarta) sebagai bukan orang sembarangan. Ia ingin jadi news maker yang syukur-syukur bisa seperti selebriti yang naik kasta jadi pejabat daerah.
‘Menjual’ nama jurnalis warga
Iwan Piliang suka memperkenalkan dirinya sebagai "literary citizen reporter"—sebuah istilah yang sulit ditemui rujukannya dalam khazanah jurnalisme. Entah apa terjemahan yang paling pas. Mungkin saja Iwan terobsesi untuk menjadi jurnalis warga yang tulisannya bergaya sastrawi.
Sebagaimana diungkapkannya di Kompasiana, dia pernah menulis advertorial untuk Jusuf Kalla pada masa Pemilu 2009. Iwan juga pernah jadi ghost writer untuk Prabowo.
Di dunia jurnalistik, advertorial adalah pekerjaannya orang iklan, bukan pekerjaan wartawan. Wartawan yang berintegritas tinggi juga tidak akan melacurkan diri jadi ghost writer.
Dengan track record seperti itu, susah sekali mempercayai klaim Iwan Piliang yang menyatakan dirinya sebagai jurnalis, terutama saat mewawancarai Nazaruddin. Dia justru ‘menjual’ nama jurnalis warga untuk kepentingan pribadi.
Bisa diadili
Karena dalam wawancara itu Nazaruddin menyebarkan informasi mengenai pihak lain yang belum tentu kebenarannya, ia bisa disebut telah melakukan fitnah atau membuat tuduhan tak berdasar.
Dalam konsep hukum pidana, ada namanya tindak pidana penyertaan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP. Tidak tertutup kemungkinan, suatu ketika Nazaruddin akan diadili karena melakukan fitnah. Jika ini terjadi, maka Iwan Piliang juga akan kena. Sebagai perantara, Iwan dapat disebut membantu atau turut melakukan tindak pidana fitnah itu.
Jadi, kalau Anda berpendapat Iwan Piliang adalah sosok hebat, pikirkan sekali lagi pendapat Anda!