Entah hanya aku atau memang depression is on the air these days. Semakin lama tekanan semakin berat di udara. Makanya semua orang makin menunduk, terlalu takut menengadah. Distraksi semakin banyak tersedia. Jiwa-jiwa kabur makin diberi makan.Â
Dulu, ketika bentuk-bentuk pelarian tidak selazim sekarang. Orang-orang dipaksa untuk menghadapi realita di depan wajahnya. Mentalitas surviving digempur setiap saat.
Apa yang terdepan di kesadarannya adalah dealing with today and what in front of my face. Tampaknya seperti tak diberi ruang untuk menghadap arah lain. tapi itu hanya berarti lingkungan menyetingmu untuk maju.
Seperti menggiring bola, bila belakang dan samping-sampingmu menutup jalan, tak ada pilihan lain. seberapapun membuat khawatirnya, atau ngeri untuk melangkah. Tapi itu realitanya, dibuat nekat untuk maju, sampai jadi terbiasa. Sampai tubuhmu beradaptasi dan terbiasa untuk dealing life.
Aku tahu kehidupan makin kesini bertambah ritmik. A lot of things happens, a lot of things to deal with. Artinya tubuhmu lebih dituntut lagi untuk jadi lebih fleksibel menghadapi kemungkinan.Â
Demikian harapannya di masa yang sekarang, manusia makin memiliki kualitas, dari produk kehidupan masa lampau yang membawa masa ini pada setahap lebih tinggi dan menantang.
Kemampuan manusia diharapkan pula naik satu tingkat dalam kemampuan adaptasinya. Sehingga grafiknya akan naik, antara level tuntutan dan level adaptasi. Namun entah kenapa, yang kurasa we are struggling to crawling up.Â
Seperti di masa ini, kenaikannya berjalan dengan lebih lambat dibanding waktu-waktu yang lalu. Seperti ada inhibition yang tak terlihat, melawan dan menekan grafiknya. Terutamanya generasi ini, mereka yang memegang julukan muda di masa ini, terlihat sangat lambat untuk naik.Â
Aku tak berkata tentang adaptasi informasi, teknologi, kompetensi dan sebagainya. Tapi tentang kualitas diri, adaptasi mendasar, yang berpengaruh langsung pada kualitas dan kepuasan hidup maupu kesehatan mental. Dan juga pada aspek-aspek lainnya walau tak kasat terlihat.
Tampaknya aku punya asumsi pelakunya. Kenapa kita jadi begitu rapuh dan tidak mantap. Apa itu inhibitor yang mengambil peran menekan kemampuan adaptasi generasi ini.Â
Bagiku, ini karena kerannya sudah dibuka, tembok penggiring dilemahkan, sehingga kita mudah untuk menembusnya. Di masa ini, dealing with reality tidak lagi jadi tokoh utama, yang menyita fokus dan energi kita.Â
Kita bisa memalingkan wajah darinya, dan menerawang ke area lain. ya, area yang bukan realita di waktu, tempat, dan momen sebenarnya bagi seseorang, the distractor. Â Mungkin awalnya distractor yang kecil dan lemah ini punya peran yang tidak bisa diremehkan.Â
Dia punya peran penting, karena reality kadang jadi terlalu melelahkan untuk dihadapi. Distractor adalah anak kecil manis yang mampu meringankan otak sejenak, dengan membelakangi realita, hanya untuk sementara waktu. Sementara waktu, sebelum akhirnya sang tokoh utama tetaplah santapan utama dari hidup, mau tidak mau.Â
Namun, makin hari distractor terus bertumbuh dan ditumbuhkan. Dia punya area sendiri, bertumbuh dalam area tersebut. pula akses yang awalnya mahal, karena ia tumbuh membesar, rasanya tak mungkin tersembunyi lagi.Â
Sampai akhirnya dia punya porsi sama besarnya dengan realita. Its only a matter of choice, kamu mau menghadap kemana, mengaitkan dengan kuat fokusmu pada realita.Â
Memilihnya sebagai tokoh utama dalam hidup, atau sebaliknya, kita menspend perhatian dan energi pada the distractor ini, dan membelakangi realita. Walaupun tetap realita adalah realita, yang mengikat kita secara fisik. Kita akan tetap terseret dalamnya, namun kita jadi tidak terbiasa menghadapinya.
Bila di hari ini, ada realita yng perlu dihadapi, tapi sekali kita memilih berpihak pada distractor, ini memberi dampak sampai kedepan. Kita semstinya maju, tapi tersedianya distractor menurunkan keharusan kita untuk maju.Â
Kita terus tarik ulur. Meski kadang kita berpikir, ah meskipun benar energiku banyak terlimpah ke distractor, tapi aku yakin tetap mampu menghadap ke depan dan berjalan maju. Iya, aku juga yakin demikian.Â
Sayangnya kita tidak lagi terbiasa untuk menghadapi dan confront dengan realita. Membuat daya adaptasi yang hanya bisa terbentuk dengan berani mengconfront, menghadapi realita, jadi tidak terlatih lagi. Kita melemah disini. Dan ini akan terakumulasi dari waktu ke waktu.
Tuntutan tetap mendorong, tapi daya adaptasi kita tidak berdaya mengikuti. Selain memperlambat kenaikan, ini memperbesar tekanan. Sangat-sangat overwhelming menjalani hidup.
Setiap hari ada perasaan terseret-seret. Setiap hari bertanya kenapa hidup jadi semelelahkan begini? Â Kita menjawab dengan dunia yang bertambah sulit dengan segala tuntutannya, atau menerima diri sebagai pribadi yang lemah dan tidak cocok dengan tempo cepat hidup saat ini.Â
Padahal sebenarnya hanya kita membiarkan diri kita tidak terlatih untuk dealing with everyday life. Yang kasihan adalah bila kita sudah terlalu jauh terseret alur yang salah ini. Karena akan sangat sangat sulit untuk melompat ke alur yang ideal.Â
Kita terjebak pada kesulitan dan ketidakmampuan menghadapi hidup, tapi bila kita mesti membangun adaptasi artinya mesti melakukan konfrontasi dengan kenyataan.Â
Sumber utama kesakitan bagi orang-orang ini. Dan kasihan lagi ini justru bisa jadi memberikan hasil yang berbeda. Drowning. Â Efek samping yang fatal. Entah bagaimana formula yang benar menangani ini. Aku tidak tahu.
Ini yang membuatku merasa, depression benar-benar terasa di seluruh udara. Orang-orang barely surviving. Anak-anak muda jadi begitu rapuh. Isu kesehatan mental jadi common sense malahan generic, seolah-olah setiap orang sedang berkutat dengannya.Â
Suicidal thoughts yang awalnya kata-kata tabu, dan tersembunyi. Kini seolah-olah trend dan show up dimana-mana. Entah, awalnya bisa aja aku mengira karena penyebaran informasi yang lebih cepat dan terbuka, mampu menyingkap kecenderungan yang awalnya diam di lapisan bawah. Tapi kok rasanya porsinya jadi lebih besar daripada yang 'normal'. entahlah, aku bisa jadi salah mengira.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H