Dalam pemahaman sehari-hari jika anak terlambat bicara (bukan karena autisme, bisu tuli, atau IQ rendah dan bukan karena kurang pengasuhan berbahasa) orang akan lebih lega. Karena memang prognosisnya baik. Artinya ia juga akan mengalami kematangan bicara dan bahasa.
Saya seringkali membaca curhat orang tua yang menginginkan saran dari teman-teman diskusinya karena anaknya belum bicara di usianya yang kedua. Dijawab oleh para Bunda: “diajak bicara saja terus Bund, nanti juga dia akan ngomong.”
Persoalannya ternyata tidak hanya sampai bicara saja. Tetapi kelak si anak akan mengalami kesulitan berbahasa.
Sekitar 8 – 16 persen anak-anak sekolah dasar ternyata mengalami masalah berbahasa. Ia mengalami kesulitan berbahasa spesifik atau dalam bahasa linguistik disebut Specific Language Impairment (SLI). Neurolog menyebutnya developmental dysphasia. Anak-anak ini sekalipun mempunyai inteligensi yang baik, namun prestasi di sekolahnya sangat buruk terutama dalam berbagai pelajaran berbasis bahasa.
SLI sudah dipelajari oleh para ahli linguistik sejak tahun 1980-an. Ada sekelompok anak yang oleh para ahli neurologi dinyatakan otaknya tidak mengalami gangguan, tetapi dalam perjalanan pendidikannya selalu mengalami masalah di sekolah. Dahulu anak-anak seperti ini disangka mengalami brain injury, lalu otaknya diperiksa periksa melalui penciteraan otak ternyata tidak mengalami ganggguan, hanya terdapat asymetri perkembangan. Mereka lebih didominasi otak sebelah kanan. Anak-anak ini mempunyai sejarah terlambat bicara.
Selanjutnya anak-anak ini diteliti oleh para ahli linguistik, mengapa di otaknya tidak ditemukan apa-apa, tetapi prestasi sekolahnya buruk. Kesulitan yang bisa dikumpulkan oleh para ahli linguistik adalah bahwa anak-anak ini mengalami masalah pada: kesadaran phonologis (makna bunyian dan ucapan), masalah pen-dekoding-an dan peng-enkoding-an informasi melalui telinga, masalah diskriminasi suara, masalah pemrosesan informasi melalui telinga (auditive processing problem), masalah pengumpulan jumlah daftar kosa kata, gangguan pemahaman kata-klimat-dan cerita, kesulitan mencari kata dari dalam daftar memori, mempunyai memori jangka pendek atau memory verbal yang lemah, dan kelemahan working memory, kelemahan pemahaman bentuk kata (kata benda, kata ganti orang, kata tanya, kata sambung dlsb), kesulitan tatabahasa, kesulitan menyusun kalimat dalam sebuah cerita, dan kekacauan dalam penyusunan elemen-elemen cerita, serta bermasalah bercerita secara oral. Pendek kata ia mengalami masalah reseptif bahasa dan ekspresif bahasa. Tak jarang juga diikuti dengan gagap dan atau kesulitan menjawab pertanyaan dengan cara mengulang-ulang pertanyaan.
DIAGNOSA YANG DIBUTUHKAN TETAPI TIDAK DITAWARKAN
Diagnosa Specific Language Impairment ini belum popular, dan belum dipelajari oleh ahli-ahli di Indonesia. Karenanya anak-anak terlambat bicara (speech delayed) ini setelah bisa bicara dan sekolah, ia terlunta-lunta tidak mendapatkan intervensi. Banyak diantaranya yang mempunyai IQ luar biasa, tetapi mendapatkan prestasi nomor buncit di kelas. Umumnya mereka lalu mendapatkan vonis gangguan konsentrasi, rentang perhatian pendek, di kelas tukang ngelamun dan bengong, dan atau anak pemalas. Padahal si anak sendiri sudah merasa bahwa ia bersungguh sungguh, tetapi hasilnya tetap jelek. Orang tua-anak-guru mengalami konflik yang tidak jelas. Masing-masing main salah-salahan.
Karena anak terus menerus tidak bisa mencapai prestasi baik, si anak disangka disleksia (gangguan membaca dan mengeja). Dan jika anak mengalami kefrustrasian karena masalah bahasa, hingga ia mengalami rasa percaya diri rendah, konsep diri jatuh, lalu menjauh dari teman-temannya dan menutup diri, yang berakibat dalam rendahnya pengembangan ketrampilan bersosialisasi. Lalu anak-anak ini mendapatkan tekanan untuk mendapatkan diagnosa autisme agar segera diberi terapi-terapi autisme. Padahal masalahnya berbahasa. Yang jika masalah berbahasa ini dapat dikuasainya dengan baik, gangguan sekunder seperti masalah-masalah sosial tadi bisa diatasinya. Dengan tidak tertanganinya masalah berbahasa ini, tanpa intervensi yang baik, anak-anak ini mempunyai risiko bukan saja mengalami masalah sosial dan emosional, prestasi rendah, demotivasi dan masalah-masalah psikiatri.
Sekalipun penelitian SLI sudah banyak dilakukan, dan sudah diajukan masuk ke dalam DSM IV, namun dalam DSM V diusulkan agar dikeluarkan lagi. Persoalannya adalah karena dalam kenyataannya manifestasi gangguan linguistik yang ada pada anak-anak ini sangat beragam sekali. Dengan kata lain sangat heterogen, yang disebabkan karena kecepatan perkembangan yang berbeda pada setiap anak dan domain perkembangan yang banyak. Menjadikan manifestasi kesulitan yang bervariasi. Belum lagi ditambah dengan lingkungan yang bervariasi dari satu budaya bahasa ke budaya bahasa lain. Karena begitu banyak variasi gambaran masalah berbahasa yang muncul dari satu anak ke anak lain, hingga saat ini para ahli belum dapat membuatkan kriteria yang dapat digunakan dalam pendiagnosisan. Apalagi subtipe-subtipenya. Padahal kriteria dibutuhkan untuk menentukan anak mana yang dapat disebut sebagai SLI, dan subtipe dibutuhkan bagi rencana intervensinya.
Namun karena belum ada kriteria dan subtipenya, SLI ini tidak ditawarkan untuk mengatasi masalah anak. Dengan tidak adanya tawaran ini, kemudian anak-anak ini masuk ke dalam diagnosa lain seperti misalnya autisme dan disleksia, karena beberapa gejalanya overlap. Tetapi padahal akar permasalahannya berbeda. Dan tentu saja tidak memecahkan permasalahannya.
Tidak ada tawaran intervensi, tentu saja tidak etis bagi pihak-pihak yang sesungguhnya merupakan profesi yang seharusnya menyantuninya.
Dalam hal ini dibutuhkan guru-guru bahasa yang mumpuni dan ahli-ahli linguistik.
BATASAN SLI
SLI merupakan gangguan perkembangan berbahasa yang ekslusif karena keterlambatan perkembangan bicara dan bahasa.
Ekslusif artinya ia tidak disebabkan oleh gangguan tertentu dan ia juga tidak menyebabkan gangguan lain (yang permanen). Contoh tidak ekslusif (artinya inklusif) yaitu jika seorang anak mengalami gangguan pendengaran, dengan sendirinya ia akan mengalami gangguan bicara dan bahasa.
SLI adalah gangguan perkembangan bahasa yang mempunyai prognosis baik, tetapi perkembangan berbahasa anak-anak ini mempunyai kecepatan yang rendah jika dibanding dengan teman seangkatannya yang normal. Jadi ia akan selalu tertinggal oleh teman-temannya.
SLI sendiri dibatasi pada anak-anak yang bukan karena:
- gangguan perilaku dan emosi (autisme)
- gangguan inteligensi – setidaknya ditunjukkan dengan performance IQ yang normal ke atas
- masalah pendengaran
- masalah neurologis
- masalah lingkungan
SLI lebih diperkirakan karena genetik, namun lingkungan yang kurang mendukung akan lebih memperparah kemampuan berbahasa anak. Pada anak-anak yang dididik multilingual masalah ini akan sangat nampak pada kesulitan berbahasa yang menuntut pemahaman daripada praktek berbahasa.
Misalnya bahasa utama di rumah dan di sekolah adalah bahasa Indonesia sedang bahasa kedua adalah bahasa Inggris,akan nampak ia justru macet dalam berbagai pelajaran berbahasa Indonesia yang menuntut pemahaman di berbagai aspek berbahasa.
DIAGNOSA BELUM DISEPAKATI TETAPI DIBUTUHKAN
Di banyak negara sekalipun sudah banyak memiliki ahli-ahli linguistic, psikologi pendidikan, orthopedagogi bahkan dokter anak dan neurology yang memperdalam diagnose SLI ini, namun diagnose ini lebih banyak digunakan oleh para ahli dalam riset-risetnya, bukan di gunakan di klinik. Hal ini lebih berkaitan dengan penentuan rencana intervensi yang standar. Yang kelak juga akan berkaitan dengan funding service-nya maupun pembayaran klaim asuransi. Tanpa ada standar intervensi dengan sendirinya sulit menentukan standar funding service-nya.
Sekalipun demikian beberapa negara, seperti misalnya Australia sudah menetapkan adanya diagnosa ini, adalah demi etika terhadap anak-anak yang sangat membutuhkan bantuan ini.
Para ahli memutuskan sekalipun belum ada standar intervensi bagi semua anak ataupun subtipenya, dianjurkan agar setiap anak dilakukan intervensi secara empiris. Artinya setiap anak mendapatkan evalusasi sendiri-sendiri, masalah yang ada apa dan apa saja yang diperlukan untuk mengatasinya. Dalam hal ini peranan guru bahasa dan ahli linguistik sangat berperanan besar untuk memahami kelemahan anak dan segera memberikan bantuan.
Semoga saja anak-anak yang mempunyai inteligensi baik ini dapat ditangani dengan baik hingga ia menyelesaikan pendidikannya sesuai dengan kapasitasnya. Jangan hanya gara-gara angka bahasa atau pelajaran berbasis bahasa jelek padahal matematika dan sains yang baik, lalu mendapatkan pendidikan dibawah kapasitasnya. Padahal masalah berbahasa ini hanyalah sementara menunggu kematangan neurologisnya saja.
Photo: koleksi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H