Tidak adanya pengrajin, sulitnya bercocok tanam, berdangan ke tempat yang jauh, membuat bangsa Arab sulit membangun ekonimi mereka secara keseluruhan.
Dari segi kemasyarakatan, kita tahu bahwa sistem politik mereka berpaku pada sistem kabilah yang dipimpin oleh para amir, akibatnya sering terjadi peperangan di antara mereka sebab dari tidak adanya persatuan di antara mereka. Perang yang terjadi di antara mereka ini, biasanya tidak terjadi dalam satu hari satu malam, melainkan berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Kemudian  banyak sekali terjadi masalah rumah tangga pada masyarakat kala itu. Bagaimana tidak? Sedangkan bangsa Arab kala itu begitu menginakan perempuan, menjual perempuan seperti barang dagang, dan juga hilangnya perasaan seorang ayah pada putrinya yang berani mengubur hidup-hidup putrinya hanya karena takut kemiskinan! Bagaimana bisa sebuah bangsa maju dengan kondisi rumah tangga yang semacam ini?
Perhatikan masyarakat bangsa Arab kala itu, tidak ada sistem pemerintahan yang sah yang menyatukan mereka, juga tidak ada hal dari segi ekonomi yang menyatukan maslahat mereka, juga tidak ada kedamaian di antara mereka yang menguatkan mereka satu sama lain, ditambah lagi agama mereka mengajarkan kebencian dan permusuhan, kebiasaan mereka pun merampok dan merampas, dan tuhan mereka adalah patung-patung!
Jika kondisi mereka seperti ini, tidak ada kesibukan mengurusi politik, juga kerajinan atau bisnis, apa yang terjadi? Waktu kosong mereka sangat banyak, mereka mengisi waktu kosong itu dengan nongkrong-nongkrong di pasar-pasar. Lewat tongkrongan inilah muncul budaya syair dan khutbah, mereka sering saling adu bahasa di tongkrongan tersebut, maka tak heran jika bangsa Arab kala itu begitu menjaga kefasihan bahasa mereka, karena di situlah nilai mereka: di dalam kefasihan bahasa.
Mereka sering menampilkan karya-karya mereka berupa syair dan khubtah di pasar-pasar, seperti pasar Al-Musya'ar di Bahrain, pasar Asy-Syahkr di Oman, pasar Dzul Majaz di Arafat, Mekkah, pasar Ukazh di Thaif, dan pasar Habasyah di Mekkah. Para penyair ini bagaikan nabi kabilahnya, mereka dibenarkan informasinya, disanjung keindahan kata-katanya, dan dibayar atas syairnya. Maka setiap kabilah sering mengirim para penyair mereka ke pasar-pasar untuk membanggakan kabilahnya dan menyebutkan kebaikan-kebaikan para amirnya di hadapan masyarakat.
Budaya syair ini membuat nilai kata-kata di bangsa Arab begitu kuat, dengan kata-kata seorang penyair bisa mendapatkan uang dan kedudukan yang tinggi, juga dengan kata-kata seorang penyair bisa menjatuhkan kedudukan kabilah lawannya. Oleh karena itu, bangsa Arab sangat mencintai kefasihan bahasa, kelurusan kaidahnya, keindahan penyusunannya.
Dan titik inilah yang akan dilemahkan oleh Al-Quran, di sinilah salah satu peran Al-Quran menjadi mukjizat. Allah mengutus Rasulullah untuk mengeluarkan bangsa Arab dan seluruh manusia dari kegelapan menuju cahaya Islam dengan Al-Quran yang memiliki kapasitas bahasa yang melampaui kemampuan bangsa Arab dalam berkata-kata. Al-Quran sangat detail dalam menjelaskan makna-makna, dan menggunakan irama yang indah, juga memiliki sifat balaghah yang tinggi dan sangat i'jaz (singkat, padat, jelas, luas).
Allah berfirman,
Dan jika kamu meragukan (Alquran) yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya. (Al-Baqarah: 23)
Maka, lewat Al-Quran Allah berani menantang bangsa Arab untuk mendatangkan satu ayat saja yang sebanding dengan Al-Quran, tapi mereka tak bisa, karena mereka tahu seberapa tinggi kebahasaan Al-Quran, dan mereka menyadari bahwa tingginya kebahasaan Al-Quran yang bisa mengalahkan syair-syair bangsa Arab ini pasti bukan dari sisi Rasulullah, tapi dari sisi Allah. Karena mereka tidak bisa menerima tantangan tersebut, maka mereka pun memilih jalan persekusi yaitu perang dengan dakwah Rasulullah.
Tapi, apakah mereka sebenarnya terpengaruh oleh Al-Quran dengan kapasitas mereka yang sangat paham dengan keindahan bahasa?