Maka Nabi Musa diberikan Mukjizat untuk mengalahkan kemampuan yang kaumnya mumpuni dan mahir di dalamnya, namun para penyihir itu hanya mengubah benda dari hakikat menjadi khayalan, sedangkan Nabi Musa atas izin Allah mampu mengubah hakikat menjadi hakikat. Maka tak heran, para penyihir ini menjadi orang-orang yang pertama kali menyadari kenabian Musa dan percaya bahwa mukjizat itu bukan datang dari Nabi Musa melainkan dari Tuhannya Musa.
Contoh lainnya, pada zaman Nabi Isa, banyak muncul dokter-dokter yang mahir di bidangnya, bahkan mereka mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Namun Allah datangkan kepada Nabi Isa sebuah mukjizat yang bisa mengalahkan kemampuan para dokter saat itu, yaitu menghidupkan orang mati. Karena dokter hanya bisa menyembuhkan orang yang masih hidup. Allah berfirman,
(Nabi Isa berkata) "Aku telah datang kepada kamu dengan satu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuatkan bagimu (sesuatu) dari tanah berbentuk seperti burung, lalu aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan izin Allah. Dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahir dan orang yang berpenyakit kusta. Dan aku menghidupkan orang mati dengan izin Allah." (Ali Imran: 49)
Kemudian, Nabi Saleh yang diutus kepada kaum Tsamud yang terkenal mahir memahat, mereka sangat mahir membuat patung dan membangun rumah di dinding-dinding tebing, namun semahir apapun mereka dalam memahat patung, maka patung itu akan tetap dalam kondisinya sebagai patung tak bernyawa. Maka Allah pun memberikan mukjizat kepada Nabi Saleh berupa patung unta dari batu yang hidup, bisa makan, minum, bahkan menghasilkan susu setelah berdoa agar mengabulkan tantangan kaum Tsamud. Maka kemampuan kaumnya pun terkalahkan oleh mukjizat yang datang dari Allah, mereka mampu mengukir patung unta, tapi tak bisa menjadikannya hidup bernyawa.
Lantas kenapa Al-Quran disebut mukjizat? Apa hal yang dilemahkan oleh Al-Quran?
Sebelum kita bahas tentang ini, kita harus tahu terlebih dahulu bagaimana kondisi masyarakat Arab yang Jahiliyah secara politik, ekonomi, dan kemasyarakatan.
Dari segi politik, bangsa Arab diliputi oleh dua imperium besar yaitu Romawi yang dipimpin oleh Kaisar dan Persia yang dimpimipin oleh Kisra, juga terdapat dua kerajaan yang cukup besar yaitu Mesir yang dipimpin oleh Muqauqas (pemimpin Qibti) dan Habasyah yang dipimpin oleh Najasyi. Sedangkan bangsa Arab tak memiliki kerajaan yang menyatukan mereka, mereka hanya berbasis pada sistem kabilah yang dipimpin oleh Amir (pemuka adat) di kabilah tersebut, meskipun terdapat juga bangsa Arab yang memiliki kerajaan, namun kerajaan tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan tunduk pada dua imperium besar seperti Kerajaan Gassan di Syam yang tunduk pada Romawi  dan Kerajaan Manadzirah di Irak yang tunduk pada Persia.Â
Terdapat juga kerajaan yang tidak tunduk pada imperium seperti Kerajaan Mu'in, Saba, dan Himyar di Yaman. Bagaimanapun, yang tercepah belah lebih banyak ketimbang yang bersatu, tertuma di daerah Hijaz (daerah sebelah barat Jazirah Arab yang terbentang dari perbatasan Yordania Utara hingga wilayah Asir di selatan) yang sama sekali tidak memiliki sistem pemerintahan yang sah yang diauki oleh seluruh penduduknya, mereka berpaku pada Amir kabilah mereka masing-masing. Para Amir kabilah ini tidak dikenal oleh kerajaan-kerajaan atau imperium besar yang lain, kalaupun mereka pergi ke Syam, mereka berlaku seperti orang pada umumnya, jual-beli di pasar, dan jika mereka menghadap raja, mereka sama sekali tak disambut, tak seperti jika raja Persia mengunjungi Romawi misalnya. Banyaknya kabilah yang terpecah belah ini menyebabkan sering terjadinya peperangan di antara mereka.
Dari segi ekonomi, mereka menggantungkannya pada kerajinan, atau pertanian, atau perdaganagan. Tapi yang amat disayangkan adalah bahwa banyak dari pengrajin itu bukan orang Arab asli, melainkan orang Persia ataupun orang Romawi, sehingga bangsa Arab sangat sedikit memiliki pengrajin. Maka mereka pun bergantung pada orang-orang non-Arab, dan dari sisi kerajinan ini bangsa Arab tidak bisa meningkatkan ekonomi bangsanya.
Kemudian seperti kita ketahui bahwa Jazirah Arab ini memiliki banyak tanah tandus yang sulit air, sehingga hal tersebut menyulitkan bangsa Arab untuk bercocok tanam, dan kalaupun bisa mereka bercocok tanam, maka hasil panennya pun sulit untuk dijaga dari kerusakan yang membuatnya sulit untuk dijual ke luar daerah. Maka, dari sisi pertanian mereka tak bisa menggantungkan ekonomi bangsa mereka.
Kemudian mereka pun menggantungkan ekonomi mereka pada perdagangan yang mana hal itu menyita waktu yang amat panjang, sebab bangsa Arab berdagang di musim dingin ke negeri Yaman dan di musim panas ke negeri Syam yang jarak keduanya sangat jauh dan membutuhkan berbulan-bulan lamanya.