Diri kita terdiri dari dua hal yaitu jasad dan ruh. Jasad harus diberi gizi yang cukup untuk tumbuh kuat dan gizinya berbentuk materi seperti makanan dan minuman. Begitu juga dengan ruh yang membutuhkan asupan gizi, namun gizinya bukan berbentuk materi melainkan maknawi yaitu hidayah. Sebagaimana Allah memudahkan kita untuk mendapatkan asupan gizi materi bagi jasad kita, Allah juga telah memudahkan kita untuk mendapatkan hidayah itu sebagai asupan gizi maknawi bagi ruh kita, dengan cara diutusnya para rasul untuk menuntun manusia kepada jalan yang benar dan juga diberikan pula pada manusia akal sehat agar mudah untuk meyakini apa yang dibawakan oleh para rasul.
Para rasul diutus kepada kaum yang sudah mulai melenceng dari jalan yang benar, seperti kaum Nabi Nuh yang sejak 10 abad menyembah Allah lalu kemudian mereka berpaling menuju penyembahan patung akibat perilaku mereka yang berlebihan terhadap orang saleh, maka Allah pun mengutus Nabi Nuh untuk mengembalikan mereka menuju penyembahan Allah semata, dan mengajarkan mereka nilai-nilai agama yang benar, serta diberikan pada para rasul mukjizat sebagai bukti kebenaran ilahi.
Lantas apa itu Mukjizat?
Kita biasanya mengartikan mukjizat sebagai keajaiban atau miracle. Menurut KBBI, Mukjizat secara etimologi (bahasa) adalah kejadian (peristiwa) ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Jika ditinjau dari bahasa Arab, maka makna Mukjizat secara etimologi adalah [1] hilangnya kemampuan dalam mendatangkan sesuatu baik itu sebuah perbuatan, atau pendapat, atau penelaahan. Sedangkan secara terminologi, maknanya pun kurang lebih sama dengan definis KBBI, yaitu sesuatu kejadian yang terjadi di luar kebiasaan.Â
Namun bila kita bedah asal kata Mukjizat (), maka itu berasal dari kata fi'il () yang artinya lemah, kemudian ditambahkan hamzah ta'diyah (hamzah tambahan dalam fi'il supaya kata kerja itu membutuhkan objek) menjadi () yang artinya "membuat objek lemah dan kalah", kemudian fi'il itu dijadikan ism fa'il (kata benda subjek) dan ditambahkan tanda ta'nits, maka jadilah (). Â Sehingga mukjizat itu diberikan kepada para nabi dan rasul untuk melemahkan dan mengalahkan kemampuan yang pada saat itu kaumnya mumpuni dan mahir di dalamnya.
Mukjizat ini datang dengan tantangan pada manusia, tapi bukan dalam bentuk penghinaan. Contoh tantangan berbentuk hinaan adalah seorang pemuda menantang kakek tua balap lari, yang tentu akan dimenangkan oleh pemuda itu, yang secara tidak langsung ia sedang merendahkan kakek tua itu. Namun jika tantangannya datang dari seorang pemuda yang pandai lari dengan atlet lari, maka itu bukan sedang menghinakan, namun sedang menguji kemampuan dirinya atau kemampuan lawannya. Begitulah kondisi mukjizat, dia datang dengan tantangan kepada manusia yang berakal sehat dan memiliki kemampuan untuk berkompetisi sehingga datangnya mukjizat bukanlah untuk menghinakan manusia, namun mengajak manusia untuk sadar bahwa kemampuan dirinya terbatas dibandingkan kemampuan Allah dalam melakukan apapun sesuai kehendak-Nya.
Sebagai contoh, Allah mengutus Nabi Musa kepada kaum yang sangat mahir berbuat sihir, sampai-sampai kota itu dipenuhi oleh para penyihir, namun penyihir itu sama sekali tidak bisa mengubah sesuatu kepada sesuatu yang lain, penyihir tidak bisa mengubah daun menjadi uang, tapi mereka bisa membuat tipu daya di mata manusia yang melihatnya seakan-akan hal itu berubah padahal tidak, penyihir hanya mengubah benda secara khayali, bukan hakiki. Maka tak heran ketika Allah menceritakan kisah para penyihir yang menantang Nabi Musa untuk mengubah tongkat menjadi ular, Allah berfirman,
Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka terbayang olehnya (Musa) seakan-akan ia merayap cepat, karena sihir mereka. Â (Taha: 66)
Mereka tak mengubah tongkat itu menjadi ular, hanya terlihat seperti ular. Berbeda dengan Nabi Musa yang ketika melempar tongkatnya, maka berubahlah ia menjadi ular yang nyata, sebagaimana Allah berfirman,
Lalu (Musa) melemparkan tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. (Taha: 20)