"Ini yang bener! Ini yang bener!" Babeh Bibo berteriak lantang bersemangat. Ditunjuk-tunjuknya layar TV di warung Mpok Bonah yang tengah menyiarkan pidato seorang lurah dari desa tetangga.
"Kudunya memang berterima kasih sebelum lengser, bukan minta maaf!" lanjutnya.
Padahal, si Lurah baru saja mengucapkan rasa terima kasihnya pada warga. Belum bicara yang lainnya. Belum bicara tentang jabatannya yang bulan depan akan diletakannya. Iya, lurah itu mau habis masa baktinya.
"Memang kudu gitu. Bukan kayak lurah ono!" Babeh Bibo kembali nyerocos, lalu kembali menyimak pidato si lurah.
"..kembali saya haturkan ribuan terima kasih kepada warga sekalian, terutama yang selama ini selalu menyerang kebijakan saya, selalu memaki-maki dan menghujat saya di obrolan warung maupun media sosial. Terima kasih atas keikhlasan Anda sekalian untuk menyerahkan amal baik Anda sekalian di akhirat nanti kepada saya.."
"Loh, maksudnya apa itu?" Babeh Bibo kaget.
Wak Sani yang sedari tadi asik merokok di dekatnya hanya menyeringai lebar. Menahan tawa.
"Pegimane ntu, Wak?" tanya Babeh Bibo.
"O, dia kan muslim. Orang Islam," Wak Sani menjawab sembari menyeruput kopinya.
"Lha, terus?"
"Kalo nggak salah, nih. Kalo nggak salah. Dalam Islam itu ada ajaran bahwa siapa yang menghujat dan menjelek-jelekkan orang lain di dunia, di akhirat nanti amal baiknya, kalau ada, akan diambil dan diberikan pada orang yang dihujatnya itu. Nah, kalau dia tak punya amal baik, atau amal baiknya sudah habis untuk menebus hujatannya dan porsi hujatannya masih lebih besar, maka dosa orang yang dihujatnya di dunia itu akan diambil dan dibebankan padanya."
"Kok gitu, Wak?"
"Ya, memang gitu."
"Waduh..!"
"Kenapa waduh? Elu demen njelek-njelekin lurahmu sendiri?"
"Eh..., tapi itu kan karena dia memang songong, Wak! Tolol dan juga sombong. Anak haramnya di mana-mana!"
"Lu tahu sendiri itu?"
"Dari berita, Wak. Berita yang dapat dipercaya!"
"Berita dari teman-temanmu?"
"Iya!"
"Teman-temanmu yang sama-sama nggak suka sama lurahmu?"
"Kalau kulihat sih, mereka sebenarnya netral, Wak!"
"Siapa saja?"
"Banyak, Wak. Ada Bu Tipak sama Pak Didut. Ada Pak Kalip juga."
"Lah, mereka kan memang pembenci lurahmu. Orang-orang udah pada tahu!"
"Masak sih, Wak?"
'Elu, klo mo denger gue, mending banyakin amal baik elu, dah. Jangan sampe di akhirat nanti elu bangkrut. Amal baik elu gak cukup buat nebus dosa-dosa elu. Ujung-ujungnya malah dosa orang yang elu pikul sebagai gantinya!"
Sejenak Babeh Bibo syok. Ia merasa waktu tiba-tiba berhenti.
"Mmmmmmmmm, tapi, Wak..!" omongan Babeh Bibo terputus. Wak Sani ternyata sudah jauh. Tubuh kerempengnya terlihat santai melenggang meniti pematang sawah di sudut desa. Segarnya udara pagi itu ikut mengiringi langkah ringannya. Ringan karena Wak Sani tak suka membicarakan keburukan orang. Tapi Babeh Bibo...
"Sompret! Pergi kagak bilang-bilang. Mental maling. Gue juga yang kudu bayarin kopinya. Mana tadi dia nambah-nambah kopinya. Â Dasar tukang tipu songong!" rutuknya kesal.
Sambil merengut ia memanggil pemilik warung.
"Mpok, udah neh, berapa semua?"
"Oh, semua udah dibayarin Wak Sani, Beh!
"Hah?"
Babeh Bibo kaget. Rokok di mulutnya sontak tertelan. Itu rokok ori lintingannya sendiri, tapi kertas garetnya kiriman Bu Tipak, tembakaunya kiriman Pak Didut. Kemenyannya kiriman Pak Kalip. Filternya memang nggak ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H