Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Biting

24 Februari 2022   16:46 Diperbarui: 24 Februari 2022   17:10 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Rolasan..rolasan!"

Terdengar suara renyah dari ruang sebelah yang hanya berbatas partisi satu setengah meteran.

Masih jam 11.30, tapi memang sudah waktunya istirahat siang di kantor kami, istirahat untuk makan siang, rolasan istilah jawanya.

"Ke kantin yuk," kuajak Deni teman sebelahku. Ia hanya menggeleng. Masih khusyuk di depan laptopnya.  Dia memang gitu.

Kuganti sepatuku dengan sandal jepit, lalu bergegas ke luar menuju kantin. Lokasi kantin agak jauh dari kantor, aku khawatir tak kebagian menu favoritku: kata si Uni namanya kepala tuna asam padeh.

Sampai di kantin sudah terjadi barisan. Antre. Biasa. Tertib. Sekitar 8 orang di depanku. Setiap langkah maju selalu kuamati nampan berisi masakan di meja hidangan, berdoa semoga hingga giliranku nanti si kepala tuna masih available.. amin.

Thanks, God. Pas giliranku, setelah ambil nasi, kukunjungi nampan berisi kepala tuna. Tapi,...eh kenapa ini? Kenapa tiba-tiba perhatianku seperti dialihkan pada beberapa onggok pepes ayam di sebelahnya?

Bagiku, si kepala tuna seakan mengerjap-ngerjapkan matanya merayuku minta disendok, tetapi itu bungkusan pepes ayam seolah berjoget-joget minta kuambil; aksinya lebih atraktif.

Penasaran dengan apa yang ada di balik keanehan ini, aku putuskan mengambil pepes ayam sebagai lauk makan siangku. Kepala tunanya besok saja.

Kubawa piring berisi menu makan siangku, mataku mencari-cari kursi yang masih kosong, tapi tiba-tiba..

"Siiitt..teplak!"

Wuaduh..jepit sandalku putus bagian depannya. Bagaimana ini? Berlagak cuek, aku tetap berjalan sambil kakiku menyeret sandal yang putus jepitnya. Aku duduk dan mengamati hidangan makan siangku sambil merenung. Apakah pilihanku tadi salah sehingga sandalku putus jepitnya? Haruskah aku tadi memilih kepala tuna asam padeh saja?

Kuamati bungkus pepes ayam di piring. Biasanya, daun pisangnya dikunci dengan lidi alias biting, tetapi kali ini penguncinya lebih besar dan terbuat dari kayu atau bambu menyerupai tusuk gigi. Wah, lebih kuat ini. Lah? Sontak aku ingat jepit sandalku. Kulolos biting bambu di bungkus pepes itu, kuambil sandalku yang putus jepitnya, kupasang lagi jepitnya ke lubang sandal, lalu kutusukkan biting pepes sebagai pengganjal.

BLESSH!

Aha.. mudah sekali. Sandal jepitku berfungsi lagi. Aku terhindar dari engklek dari kantin ke kantor. Aku geli sendiri. Mungkin ini rahasianya kenapa aku tadi seperti "diarahkan" untuk memilih pepes ayam. Ternyata biting pada bungkus pepesnya dapat menolong memperbaiki sandalku yang akan putus beberapa saat kemudian. Siapa tadi yang mengarahkan aku? Tuhan-kah? Aku merinding.

Entah apa jadinya jika tadi aku memilih kepala tuna asam padeh. Bisa-bisa aku telanjang kaki balik ke kantor nanti. Alamat musti pinjam sandal orang buat wudu untuk salat duhur di musala. Eh, sebentar. Secara teori butterfly effect, kalau aku memilih kepala tuna, belum tentu juga sandalku putus jepitnya, kan? Ah, entahlah. Aku lapar. Mau makan dulu. Dibanding tuna asam padeh, pepes ayam si Uni tak kalah yummy, dimasak pakai panci presto, edible sampai tulang-tulangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun