Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Andai Gibran Gagal Jadi Wali Kota

15 Februari 2021   20:14 Diperbarui: 15 Februari 2021   20:42 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gibran Rakabuming Raka bin Joko Widodo bisa disebut baru seumur jagung jadi anggota partai politik. Langsung dicalonkan jadi calon walikota di Pilkada 2020. Meski dengan drama tarik ulur. Biasa.

Kebetulan Gibran dan pasangannya menang. Kita tinggal saksikan apakah ia mampu membedakan antara keharusan menjaga martabat sebagai pengayom masyarakat dan kewajiban menjaga martabak, bisnis pribadinya.

Diakui atau tidak, nama ayahnya yang Presiden RI dan juga tokoh partai berperan dalam kemenangannya. Ada sinyalemen bahwa Gibran sengaja memanfaatkan momen berkuasanya sang ayah, Joko Widodo alias Jokowi,  untuk ikut menjadi penguasa. Tudingan politik dinasti pun mengemuka. Beberapa pihak mencoba meramaikannya.

Sekali lagi, kebetulan Gibran menang. Mungkin karena parpol pendukungnya tidak langsung berhadapan dengan Partai Demokrat, partai yang (katanya) sangat anti dengan politik dinasti itu. Kalau berhadapan langsung dengan Partai Demokrat, bisa lain ceritanya.

Apa pun itu, faktanya Gibran menang. Konsekuensinya, kebijakan politik Jokowi pun makin di-"dinasti-dinasti"-kan. Padahal, politik dinasti erat hubungannya dengan (kejahatan) nepotisme, satu bentuk kejahatan yang menurut amanat reformasi wajib dihindari selain korupsi dan kolusi dan sebangsanya.

Namun, andai Gibran kalah dalam pilkada dan gagal jadi walikota, apakah Presiden Jokowi lepas dari tudingan menganut politik dinasti? Sepertinya tidak juga.

Jika kalah pilkada, Gibran bisa saja ditarik jadi pejabat teras partai meski dengan jabatan di luar pakem kepengurusan. Komando Satuan Tugas Martabak, misalnya. Tugas utamanya menggalang dana dari dan untuk para pengusaha martabak simpatisan partai. Untungnya (cuma) martabak, pake "k" bukan "t". 

Jadi, tidak ada hubungannya dengan pidato-pidatoan pencitraan yang ibaratnya "omong doang buat ditepukin orang". Mas Gibran sepertinya masih kurang fasih berpidato untuk mendulang tepukan orang, terutama tepukan dari para remaja putri dan ibu-ibu arisan. Apakah ini berarti baginya timpukan malah lebih memungkinkan? Nggak, lah. Jangan keterlaluan!

Pemberian jabatan tinggi di kepengurusan partai pada Gibran si anggota baru ini tentu berpotensi menimbulkan masalah. Para politikus senior partai yang sebenarnya ngantre untuk diberi jabatan tinggi terpaksa gigit jari atau banting peci. Karena praktik penyusunan kepengurusan yang terkesan "maksa" itu mengakibatkan mereka tak kebagian jabatan. 

Padahal, andai diberi jabatan aneh-aneh pun mereka sebenarnya mau. Pemandu sorak pilkada, pengintip survei partai tetangga, instruktur aerobik khusus simpatisan golongan ibu-ibu arisan dan perempuan remaja, divisi telematika -- panci-- dan parabola,  atau divisi ngeles tralala; apapun itu asalkan jabatan teras di kepengurusan pusat, gak masalah.

Masalahnya, penguasa parpol sepertinya tak mau peduli. Mungkin parpol itu memang untuk mengakomodasi kepentingan dirinya dan keluarganya saja. Plus teman-teman dekatnya. Awalnya memang untuk kepentingan golongannya separtai (juga), tetapi dalam perkembangannya banyak anggota yang menyeberang ke partai lain. Malah ada yang sampai bongkar-bongkar aib segala, bikin malu partai saja. 

Akhirnya si penguasa parpol hilang kepercayaannya pada orang lain. Tiada lagi yang dapat diyakini keberpihakannya, tiada lagi yang dapat diyakini konsistensinya menjaga aib bersama selain orang-orang terdekatnya. Maka pemberian jabatan kepartaian bukan lagi mempertimbangkan prestasi dan durasi pengabdian, melainkan kedekatan hubungan. Logis memang. Juga rasional.

Meski tamsil semata, kisah di atas secara nalar manusia normal memang mengandung setori ketidakadilan oleh penguasa partai. Istilah Jawanya "emban cindhe, emban siladan"; yang belum jelas jasanya digendong ke mana-mana pakai selendang berharga milyaran, yang sudah lama menyumbang tenaga dan pikiran malah cuma ditenteng pake koran... itu pun bekas bungkus makanan.

Hanya saja, masalah politik biasanya cuma butuh alasan pembenaran; soal betul atau salah tergantung kepada siapa hal itu ditanyakan: pada simpatisan-kah atau pada kaum oposan, karena jawabannya selalu berlawanan.

Yang pasti, soal masuknya Gibran ke partai Jokowi dan langsung menjadi pengurus teras itu jangan ditanyakan kepada para pendukungnya. Mereka pasti punya seribu satu macam cara untuk ngeles dan membenarkan. Tak perlu heran. Hal ini sekadar manifestasi nyata dari sebuah peribahasa lama: kecebong di seberang lautan tampak, bullfrog di pelupuk mata tak tampak.

Bagi yang sedang lupa atau butuh clue, saya ingatkan bahwa bullfrog itu katak kebo (Rana catesbeiana). Masih spesies katak, bukan kebo. Cuma ada kemiripan. Ada yang menyebutnya katak lembu atau katak sapi, suka-suka dia lah. Padahal, meski sama-sama bukan katak, sapi dan kebo itu berbeda. Sapi suka melenguh, kebo sukanya mengeluh. Duh...

--

emban cindhe = gendong pake selendang

emban siladan = gendong pake siladan (= bilah bambu).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun