Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Namaku Paidon

6 Januari 2021   11:56 Diperbarui: 6 Januari 2021   12:15 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: sethwrotethis.weebly.com

Paidon namaku. Sekarang aku manusia. Ratusan tahun lalu aku hanyalah seonggok kuningan berbentuk mirip vas bunga. Gembung di bagian perut, monyong di bagian mulut.

Dulu itu, namaku juga paidon. Orang Jawa menyebutku begitu. Asalnya dari kata pa-idu-an. Mirip dengan kata keraton yang asalnya dari kata ke-ratu-an. Hanya saja, ratu artinya raja, sedangkan idu?

Idu artinya ludah. Jadi, paidon itu tempat buang ludah, kloset-nya mulut. Bule bilang aku spittoon. Tapi jangan salah. Tempatku dulu di keraton. Aku paidon bagi keluarga raja dan tamu-tamunya.

Raja muda dan para pangeran biasa saja aroma ludahnya. Permaisuri dan putri keraton manis ludahnya, harum. Sayangnya, mereka jarang sekali meludah, jarang sekali meludahi aku.

Ibu suri ludahnya pahit, bercampur aroma sirih dan tembakau. Sering penuh perutku dibuatnya. Tapi aku suka warnanya, merah kesumba, merah yang ada kuning-kuningnya.

Yang aku paling tak suka adalah tamu yang perilakunya seperti Durna dan Sengkuni. Mereka sangat sering meludah. Ludah mereka busuk luar biasa. Amis, beracun pula. Mungkin cerminan dari tabiatnya.

Tapi aku tak kuasa menolak. Lagipula, ada bisikan bahwa semua itu kuperlukan sebagai pelengkap karakterku di masa depan, saat nanti aku jadi manusia.

BENAR saja. Saat aku jadi manusia, karakter para pembuang ludah ke mulutku di masa lalu itulah yang jadi karakter utamaku. Dulu yang ludahnya normal, harum, dan manis, jarang meludahiku. Maka sekarang jangankan bersikap manis, bersikap normal seperti layaknya manusia saja aku sulit.  

Aku lebih sering berlaku pahit, seperti rasa ludah kesumba sirih tembakau ibu suri istana. Aku juga terbiasa berlaku culas dan licik, seperti para Durna dan Sengkuni di masa lalu. Karena ludah amis beracun merekalah yang menjadi sari pati daging dan darahku.

Ada satu hal yang awalnya sempat kuherankan, yaitu kegemaranku bermain media sosial atau medsos. Medsos adalah tempat aku mengekspresikan keculasan dan kelicikan. Medsos adalah tempatku mengejek dan menghina orang yang ingin kuhinakan. Medsos adalah media bagiku untuk berperilaku pahit.

Entah kenapa, mulutku yang monyong membulat di masa lalu sebagai seonggok paidon itu seakan tak berubah sifatnya meski aku sudah jadi seorang Paidon. Perutku yang gembung seperti spesies tetraodon ini seakan siap menumpahkan kembali isi ludah yang pernah kureguk. Dulu isinya busuk, sekarang akan kukeluarkan busuk pula, bahkan lebih busuk. Medsos jadi jalan sempurna bagiku. Kian manunggal, aku dan medsos tidak bisa dipisahkan. Rasanya seperti deja vu, akulah si medsos itu. Jangan-jangan medsos sekarang adalah aku di masa lalu? Bingung.

Namun, akhirnya aku paham.  Bahwa yang namanya hakikat itu tak akan lekang dimakan peradaban. Ia eksis sepanjang zaman. Paidon selamanya akan jadi paidon. Meski reinkarnasi sebagai manusia, hakikatnya tetap paidon. Sekadar menjalani siklus. Seperti halnya diriku. Sebagai seonggok paidon, aku hanya menerima ludah dari para manusia. Sebagai seorang Paidon, aku sekadar mengeluarkan kembali ludah para manusia yang dulu pernah mengisi perut gembungku, penyusun tiap molekul jasadku.

Aku tahu perilakuku termasuk buruk untuk standar manusia biasa. Tapi aku tak mampu mengubahnya. Karena sepertinya memang beginilah aku ditakdirkan. Ini alibi cerdasku. Percayalah, jangan mendebat. Kalian tak akan mampu melawanku "bersilat ludah".

Aku tak peduli nasihat orang yang tak sepaham, aku tak peduli makian orang yang kulecehkan. Yang penting aku senang, bisa kenyang, punya banyak teman.

Ngomong-ngomong tentang teman, aku paling senang dengan teman-temanku yang berasal dari daerah barat sana, daerah yang para dalang wayang menak menyebutnya "Puser Bumi". Kalian tahu kenapa? Karena teman-temanku itu fasih sekali ejaannya. Mereka menyebut namaku dengan unik. Karena huruf depan namaku tak ada dalam kamus mereka. Maka jadilah aku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun