Entah kenapa, mulutku yang monyong membulat di masa lalu sebagai seonggok paidon itu seakan tak berubah sifatnya meski aku sudah jadi seorang Paidon. Perutku yang gembung seperti spesies tetraodon ini seakan siap menumpahkan kembali isi ludah yang pernah kureguk. Dulu isinya busuk, sekarang akan kukeluarkan busuk pula, bahkan lebih busuk. Medsos jadi jalan sempurna bagiku. Kian manunggal, aku dan medsos tidak bisa dipisahkan. Rasanya seperti deja vu, akulah si medsos itu. Jangan-jangan medsos sekarang adalah aku di masa lalu? Bingung.
Namun, akhirnya aku paham. Â Bahwa yang namanya hakikat itu tak akan lekang dimakan peradaban. Ia eksis sepanjang zaman. Paidon selamanya akan jadi paidon. Meski reinkarnasi sebagai manusia, hakikatnya tetap paidon. Sekadar menjalani siklus. Seperti halnya diriku. Sebagai seonggok paidon, aku hanya menerima ludah dari para manusia. Sebagai seorang Paidon, aku sekadar mengeluarkan kembali ludah para manusia yang dulu pernah mengisi perut gembungku, penyusun tiap molekul jasadku.
Aku tahu perilakuku termasuk buruk untuk standar manusia biasa. Tapi aku tak mampu mengubahnya. Karena sepertinya memang beginilah aku ditakdirkan. Ini alibi cerdasku. Percayalah, jangan mendebat. Kalian tak akan mampu melawanku "bersilat ludah".
Aku tak peduli nasihat orang yang tak sepaham, aku tak peduli makian orang yang kulecehkan. Yang penting aku senang, bisa kenyang, punya banyak teman.
Ngomong-ngomong tentang teman, aku paling senang dengan teman-temanku yang berasal dari daerah barat sana, daerah yang para dalang wayang menak menyebutnya "Puser Bumi". Kalian tahu kenapa? Karena teman-temanku itu fasih sekali ejaannya. Mereka menyebut namaku dengan unik. Karena huruf depan namaku tak ada dalam kamus mereka. Maka jadilah aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H