Pilpres 2019 kali ini memang seakan ulangan konflik suksesi kerajaan Demak Bintoro. Sepeninggal Sultan Trenggono yang gugur dalam perang, tahta Demak mengalami kekosongan. Situasi agak pelik karena Sultan Trenggono hanya memiliki satu putri dan saat itu wanita tidak dianggap layak untuk memimpin kerajaan.
Sang Putri sudah menikah dengan Karebet alias Joko Tingkir yang bukan bangsawan istana, tetapi jika dirunut asal-usulnya masih keturunan Brawijaya, Raja Majapahit. Karebet yang saat itu menjadi Adipati Pajang memang calon kuat pengganti Sultan Trenggono. Dengan mengingat sejarah bahwa Raden Patah pendiri Demak Bintoro juga merupakan trah Majapahit, Joko Tingkir pastinya akan mudah diterima sebagai penerus tahta Demak.
Baca juga: Gonjang-ganjing Politik Pasca-Pilpres 2019
Namun, masalahnya tidak sesederhana itu. Karena di lain pihak ada Adipati  Jipang Ario Penangsang, kemenakan Trenggono yang juga dipandang layak menggantikan pamannya. Ayah Ario Penangsang adalah Raden Surowiyoto, saudara tiri Trenggono yang tewas dalam sebuah konflik berdarah perebutan tahta Demak saat Ario Penangsang masih bayi.
Selain sultan yang merupakan raja, kekuasan Demak juga diemban oleh dewan ulama atau wali. Dua di antaranya adalah Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Dalam musyawarah penentuan penerus tahta Demak sepeninggal Trenggono, dewan ulama terpecah menjadi 2 kubu. Kubu Sunan Kudus yang menjagokan Ario Penangsang dan Kubu Sunan Kalijaga yang menjagokan Joko Tingkir. Perpecahan itu segera menjelma perang dingin berlarut-larut antara kubu Joko Tingkir dan Ario Penangsang dan akhirnya memanas.
Jika dianalogikan dengan pilpres kali ini, siapakah tokoh-tokoh yang relevan mewakilinya? Sekilas sebenarnya sudah jelas. Sunan Kalijaga mewakili profil ulama lokal dengan baju adat ala orang pribumi kebanyakan, sementara Sunan Kudus merupakan ulama dari Timur Tengah dengan ciri khas surban dan jubah putihnya. Itu dari sisi pendukung atau botohnya. Bagaimana dari sisi jago-jagonya?
Baca juga: Pesan Dahsyat Joko Tingkir untuk Prabowo!
Meski aslinya trah kerajaan, Karebet diasuh di kampung Tingkir oleh Ki Ageng Tingkir dan istrinya Nyi Ageng Tingkir dalam kesederhanaan. Nama Joko Tingkir disematkan karena ia memang joko (pemuda) dari kampung atau Dukuh Tingkir. Jadi Joko Tingkir memang pemuda kampung yang sederhana dan terbiasa prihatin, beda jauh dengan Ario Penangsang yang bangsawan dan serba berkecukupan.
Joko Tingkir dan Ario Penangsang sama-sama sakti dan memiliki pusaka andalan, tetapi memiliki ciri khas sendiri-sendiri. Joko Tingkir cenderung sejuk pembawaannya. Karena keris pusaka Kyai Sengkelat pemberian Sunan Kalijaga dapat ditundukkan dan telah menyatu dengan dirinya. Lain halnya dengan Ario Penangsang. Keris pusaka Brongot Setan Kober pemberian Sunan Kudus terlalu panas baginya. Ario Penangsang kewalahan meredam perbawa si keris pusaka. Akibatnya, pembawaan Ario Penangsang serba panas dan temperamental. Itu karena pengaruh bawaan keris pusaka Setan Kober yang tidak berhasil ditundukannya.
Baca juga: Joko Tingkir, Kerusuhan Mei 1998 dan Jokowi
Apapun itu, sejarah membuktikan bahwa meski terang-terangan mendapat dukungan ulama linuwih, yaitu Sunan Kudus, Â pada akhirnya Ario Penangsang kalah juga oleh Joko Tingkir.
 Lalu, siapakah si Joko dan siapakah si Ario dalam gelaran pilpres 2019 ini? Entahlah. Tapi kalau soal keris, kita bisa bertanya pada kolektor keris fenomenal di negeri ini yang sekaligus petinggi partai dan wakil ketua DPR berperawakan bangsawan adol makmur. Kita bisa bertanya padanya, keris Setan Kober yang auranya sangat ganas itu diberikan pada siapa. Atau mungkin masyarakat juga sudah mampu menduganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H