Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kasus Ahok: Umat Lebih Percaya FPI daripada MUI?

11 Desember 2016   12:00 Diperbarui: 11 Desember 2016   15:09 971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sidang kasus dugaan penistaan agama dengan tersangka Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) akan digelar mulai Selasa 13 Desember 2016. Baik disiarkan secara life maupun tidak, pastinya masyarakat luas berhak tahu informasi tentangnya. Karena berdasarkan hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting yang dirilis Kamis 8 Desember 2016, sebanyak 88,5 persen responden menjawabtidak tahu persis bagaimana ucapan Ahok di kepulauan seribu yang mengutip surat Al-Maidah ayat 51 [kompas.com].

Kalaupun ternyata banyak yang tidak tahu persis tetapi ikut meyakini terjadinya penistaan agama oleh Ahok, kemungkinan besar hal ini karena adanya fatwa MUI 11 Oktober 2016 yang dijadikan pedoman meski terkesan fatwa tersebut dibuat secara terburu-buru. Mungkin kejar tayang untuk diumumkan di acara favorit senusantara, Indonesia Lawyers Club TV-One bertajuk "Setelah Ahok Minta Maaf" yang diadakan malam harinya.

Saya katakan terburu-buru karena ada ketidaksesuaian logika berbahasa Indonesia dalam fatwa tersebut. Kalau soal agama, ayat, dan tafsirnya, saya meyakini kepakaran ulama MUI, tapi soal bahasa Indonesia semua orang yang pernah bersekolah pastinya mampu memahaminya. Yang saya maksud tidak sesuai di sini adalah korelasi antara objek kajian (pernyataan/ transkrip ucapan Ahok di kepulauan Seribu), pertimbangan (hal-hal yang digunakan untuk "membidik" Ahok), dan kesimpulan (diktum) dalam fatwa tersebut.

Berikut ini transkrip objek kajiannya yang merupakan sebagian dari pernyataan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di Kabupaten Kepulauan Seribu pada hari Selasa, 27 September 2016:

”… Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai surat al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu, jadi bapak ibu perasaan nggak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya..”

Ada 5 pertimbangan (atau dalam teks fatwa tersebut ditulis sikap keagamaan), tetapi yang fokus membidik Ahok adalah pertimbangan ke-4 dan ke-5, yaitu:

..

4.   Menyatakan bahwa kandungan surah al-Maidah ayat 51yang berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Al-Quran.

5.  Menyatakan bohong terhadap ulama yang menyampaikan dalil surah al-Maidah ayat 51 tentang larangan menjadikan nonmuslim sebagai pemimpin adalah penghinaan terhadap ulama dan umat Islam.

Berdasarkan hal di atas, maka pernyataan Basuki Tjahaya Purnama dikategorikan: (1) menghina Al-Quran dan atau (2) menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum.

[Sumber teks fatwa MUI dari http://berita.islamedia.id]

Pernyataan setelah poin ke-5 itu yang saya sebut sebagai kesimpulan alias diktum. Ada sedikit ganjalan karena 2 hal berikut:

1. Pertimbangan atau sikap keagamaan poin 4 itu tidak terbukti terkandung dalam pernyataan yang menjadi objek kajian, kecuali jika yang diyakini MUI adalah transkrip buatan Buni Yani yang menghilangkan kata "pake" yang menjadi viral sejak beberapa hari sebelumnya.

2.Pertimbangan atau sikap keagamaan poin ke-5 juga tidak terbukti karena Ahok bahkan tidak sekali pun menyebut kata "ulama" dalam pernyataannya itu. Jika MUI berkesimpulan bahwa hanya ulama yang bisa menafsirkan sehingga yang dituduh Ahok membohongi pake surah Al Maidah adalah pasti ulama, ini agak berlebihan. Kalau yang dimaksud itu menafsirkan lalu menerbitkan kitab tafsir memang benar hanya ulama dan pasti ulama. Tapi sekarang ini era media sosial di mana siapapun bisa menuliskan apapun keinginannya dan menyebarkannya ke masyarakat. Maka siapa pun (tidak harus ulama) bisa saja menuliskan ayat dan memberinya penafsiran untuk kepentingannya sendiri dan golongannya.

Itu beberapa ketidaksesuaian yang mestinya tertangkap oleh orang awam yang paham logika berbahasa Indonesia. Oleh karena saya yakin MUI pun berisi ilmuwan-ilmuwan yang mumpuni ilmu kebahasaan-Indonesianya, maka saya beranggapan bahwa fatwa tersebut memang terburu-buru dikeluarkan, mungkin ahli bahasanya tidak sempat dilibatkan.

Hal lain yang mendukung anggapan saya soal terburu-burunya fatwa MUI adalah tayangan Indonesia Lawyers Club 8 November bertajuk "Setelah 411" yang menampilkan pernyataan Ustad Alkaff. Ustad tersebut mengakui bahwa ia memang mendesak MUI untuk segera mengeluarkan fatwa karena khawatir umat akan bertindak sendiri-sendiri yang mengakibatkan hancurnya negara ini.

Ustad Alkaff bersyukur karena dua hari setelah ia mendesak, keluarlah fatwa MUI yang dikatakannya isinya menyejukkan, mungkin maksudnya sesuai dengan harapannya. Adapun fatwa itu semata-mata berpihak pada kemauan mayoritas atau juga mempertimbangkan kemaslahatan, tentu masih bisa diperdebatkan.

Apapun itu, fatwa MUI sudah dikeluarkan dan sepertinya menjadi pintu masuk dan legitimasi bagi GNPF (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa) untuk melakukan berbagai aksi di mana peran MUI sudah tidak digubris lagi. Buktinya, pasca aksi damai 411, MUI menganjurkan supaya tidak ada aksi lagi demi kemaslahatan. Tapi anjuran MUI tak digubris dan GNPF bahkan berencana mengadakan aksi lagi pada 2 Desember. Dan ternyata "umat" lebih patuh pada GNPF (di mana FPI berada di dalamnya) daripada MUI.

Lucu memang, fatwanya dikawal-kawal, tapi pembuat fatwanya diabaikan. Padahal, karena fatwa MUI-lah, orang yang tidak tahu-menahu akhirnya bisa diyakinkan bahwa Ahok menista agama dan harus dipenjara. Apakah hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya MUI telah diperalat oleh ormas atau kelompok radikal yang kini mengambil alih kepemimpinan umat? Kalau demikian halnya, negara ini memang sedang dalam bahaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun