Dalam lagunya "Siti Julaika", Franky Sahilatua dan sang adik Jane Sahilatua bercerita. Tentang dua sejoli yang bekerja di sebuah pabrik gula. Siti Julaika dan Durahim namanya. Keduanya menikah secara sederhana. Namun, saat lahir anak pertama, mereka sudah tidak lagi bekerja. Pabrik gula mengurangi tenaga kerja manusia, mesin-mesin telah didatangkan untuk menggantikan fungsi mereka.
Pabrik gula merupakan institusi bisnis. Tentu saja keuntungan menjadi salah satu fokus utamanya. Hitung-hitungan efisiensi pastinya selalu dilakukan agar keuntungan maksimal atas sejumlah biaya produksi tertentu. Efisiensi biaya rumit hitungannya, efisiensi waktu lebih mudah diamati dan dirasa. Jika semula untuk menghasilkan sejumlah tertentu gula perlu waktu satu hari, dengan bantuan mesin bisa jadi cuma setengah hari, misalnya.
Analogi di Bidang Pendidikan
Kita buat analogi dari ilustrasi di atas pada proses pembelajaran di dunia pendidikan Indonesia. Contoh kasus: jika proses pembelajaran konvensional (manual, sistem ceramah, tatap muka) perlu waktu 10 jam pelajaran di sekolah (minimal 5 kali tatap muka) untuk menyelesaikan satu pokok bahasan tertentu, maka dengan bantuan teknologi (IT dan Internet) mestinya hanya butuh 5 jam atau bahkan kurang (1 – 2 kali tatap muka). Karena proses belajar selanjutnya bisa dilakukan secara mandiri, tanpa harus "menghadirkan" guru secara fisik. Belajar bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja dengan bantuan komputer maupun perangkat multimedia lainnya. Kemajuan teknologi menghasilkan efisiensi waktu dan efektivitas pembelajaran.
Namun, sepertinya terjadi kontradiksi. Teknologi di bidang pendidikan sudah semakin maju, tetapi waktu belajar di sekolah bukan makin singkat, justru makin panjang dan padat. Terbukti dengan adanya sekolah yang merasa perlu memberikan les tambahan di luar jam pelajaran atau bahkan menerapkan sistem sekolah seharian (full day school).
Kalaupun bukan kontradiksi, berarti memang terjadi lonjakan kuantitas beban pelajaran yang dipaksajejalkan pada anak didik di masa sekarang. Beban kurikulum makin berat. Paling tidak jika dibandingkan dengan masa-masa sebelum internet berkembang. Mungkin ada yang dulunya materi tingkat SMP, sekarang sudah menjadi beban anak-anak SD; yang dulunya materi tingkat SMA, sekarang sudah menjadi beban anak SMP. Secara tersirat, anak-anak sekarang memang dipaksa tumbuh cepat secepat-cepatnya; tidak diperkenankan terlalu lama menikmati dunia kanak-kanaknya. Bijaksanakah?
Mengingat teknologi informasi dan komunikasi sudah sedemikian maju, mestinya bisa dimanfaatkan untuk "memangkas" durasi jam sekolah. Namun, mengapa kemajuan teknologi seakan tak berguna sehingga kemdikbud justru memimpikan pemberlakuan sistem sekolah seharian? Meski praktiknya tidak seharian (misal hanya sampai pukul 16.00), full day school terkesan menyiratkan niat "pemenjaraan". Anak-anak "ditahan" selama mungkin di sekolah supaya tidak "bebas berkeliaran" dan berbuat macam-macam tanpa pengawasan. Dengan cara pandang demikian, libur sekolah pastinya menjadi dilema. Bahkan bisa dianggap "berbahaya" bagi siswa.
Anak-Anak Enjoy Sekolah Seharian?
Agak aneh menyaksikan pendapat sebagian orang bahwa anak-anak mereka yang sekolah seharian ternyata "enjoy saja" tanpa merasa tertekan. Karena yang namanya anak-anak, meski dikumpulkan dalam sel tahanan dan hanya diberi makanan satu-dua kali seharian, mereka juga akan tetap bermain, gembira, dan bercanda dengan teman-temannya. Mungkin satu-satunya hal yang bisa merampas kebahagiaan mereka adalah "bullying", baik oleh teman sebaya maupun orang yang lebih tua. Selagi tak ada bullying, mereka akan enjoy aja, nggak ada capeknya, meski sampai malam juga.
Jadi, dari sudut pandang anak, pastilah full day school tidak sempat terpikir sebagai sesuatu yang memberatkan. Mereka hanya menganggap itu sebagai peraturan. Dan tugas mereka memang mengikuti peraturan itu, bukan ikut memikirkan filosofinya.
Pernah Dicoba Sebelumnya
Sekitar 20-an tahun yang lalu, sistem sekolah hampir seharian pernah juga diujicobakan. Hanya saja waktu itu "semangatnya" untuk memberi waktu libur yang lebih panjang. Karena perhitungannya jadwal pelajaran hari Sabtu disebar ke 5 hari lainnya, supaya siswa-siswa bisa libur dua hari seminggu, supaya liburnya Sabtu-Minggu, bukan cuma Minggu. Kebetulan waktu itu uji cobanya berbarengan waktunya dengan uji coba sistem 5 hari kerja. Pekerja kantoran yang biasanya pulang jam 1-2 siang, terpaksa pulang lebih sorean dengan kompensasi: hari Sabtu ikut liburan.
Ujicoba sekolah lima hari menuai banyak kritikan. Anak-anak ditengarai mengalami kelelahan, baik fisik maupun mental. Alhasil, sekolah 5 hari tidak jadi diwajibkan.
Berbeda halnya dengan sistem 5 hari kerja. Meski juga menuai banyak kritikan karena sebagian pegawai jadi tak bisa menjalankan kerja sambilan, mengurusi sawah–ladang–perkebunan dan obyekan, kebijakan 5 hari kerja tetap diteruskan, meski ada pengecualian.
Apa yang Hendak Dicapai dalam Sistem Full Day School Sekarang?
Agak membingungkan wacana kebijakan full day school sekarang. Karena jika tujuannya memperkecil waktu kontak siswa dengan dunia luar selain sekolah, pastinya hari Sabtu tidak akan dijadikan hari libur. Hari Sabtu tetap masuk, jadinya full day school 6 hari sekolah. Bahkan kalau bisa, hari Minggu tetap bersekolah, tetap dalam pengawasan sekolah. Karena itulah menguat pula wacana boarding school atau sekolah berasrama yang memungkinkan para siswanya tinggal/ menetap di lingkungan sekolah selama pendidikan.
Mungkin terlalu fokus pada anak didik sehingga melupakan tenaga pendidiknya. Tenaga pendidik juga manusia biasa yang biasanya juga memiliki keluarga. Apalagi yang sudah menikah. Jika dibebani jam kerja/mengajar yang 'berlebihan', tentu interaksinya dengan keluarga menjadi berkurang. Bahkan bisa jadi seorang guru malah tidak sempat mengurusi anaknya sendiri. Keluarga para pengajar tentu perlu dipikirkan sebagai bahan evaluasi kebijakan. Kecuali sekolah diasuh oleh para bruder dan suster yang memang "mengabdikan diri" pada dunia pendidikan sebagai bentuk pelayanan pada Tuhan.
Kalau mau didramatisir, pastinya banyak aspek yang bisa dijadikan perdebatan. Keberpihakan saya agak mengambang karena belum sepenuhnya paham mendikbud kita punya kemauan, tetapi saya lebih cenderung menginginkan jam sekolah diminimalkan saja dengan mengefektifkan penggunaan teknologi pembelajaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H