Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tulisan Nggak Penting

24 Juli 2016   18:58 Diperbarui: 24 Juli 2016   19:02 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini tulisan memang berisi cerita pengalaman nggak penting, tapi ternyata ada analoginya di dunia maya Kompasiana. Mungkin ada yang tersindir selain saya sendiri, tapi semoga saja tidak semuanya. Semoga yang tersindir tak jadi marah dan memilih tetap ramah.

Seperti biasa, lebaran selalu menyisakan cerita. Baik cerita anak-anak maupun cerita tentang orang dewasa. Yang akan saya ceritakan ini cerita anak-anak, tetapi berlaku juga untuk orang dewasa yang perilakunya kadang masih seperti anak-anak. Seperti saya.

Lebaran ketemu saudara dan para keponakan. Ada yang sudah gadis, ada yang sudah bujang. Si Rad, anak sulung saya terhitung paling muda di antara sepupu-sepupunya. Maka hampir semua permintaannya dituruti oleh mereka. Termasuk saat minta bongkar rak buku kakak sepupunya yang tertua. Hasilnya, si Rad mendapat banyak buku baru, tapi hanya baru bagi dia karena belum pernah membacanya; sebenarnya buku usang bin lama.

Biasanya, setelah memegang buku baru, Rad akan langsung membacanya sampai selesai. Bahkan tak jarang ia membacanya lagi beberapa kali. Kalau ditanya isi bukunya, ia akan panjang lebar menjelaskan sampai detail seperti sedang menjalani ujian lisan pendadaran. Namun ternyata ada pengecualian. Ada sebuah buku kecil usang yang proses bacanya tak tuntas ia selesaikan. Dan saat saya tanyakan isi buku tersebut ia angkat bahu dan menjawab "Tidak tahu!"

Ini aneh. Tak biasanya ia begitu. Pasti ada apa-apanya. Kalau bukan takut oleh alur ceritanya, kemungkinan besar merasa tersindir dan tak nyaman membacanya.

Penasaran, saya mengambil buku itu. Meski berukuran kecil, tampaknya terlalu tebal untuk disebut buku saku. Judulnya "Anak dalam Cermin dan cerita-cerita lain." Pengarangnya Enid Blyton sehingga pastinya itu edisi terjemahan. Isinya kumpulan cerita anak, dan "Anak dalam Cermin" merupakan salah satu judul ceritanya.

"Anak dalam Cermin" menceritakan tentang Ronie, seorang anak yang bertemu dengan anak lain yang tak disukainya. Anak lain itu ditemuinya di dalam cermin di kamar ibunya. Ronie sangat benci pada anak itu karena sifatnya yang nakal, pelit tak mau berbagi, serta mudah marah. Anak itu terlalu pelit, tak memperbolehkan satu pun mainannya dipinjam oleh Ronie. Ronie berusaha memaksa. Saat terjadi perebutan mainan dan Ronie marah lalu memukulnya, anak itu tak mau kalah dan mengambil sapu untuk membalasnya. Ronie pun lari ketakutan dan berusaha keluar dari dalam cermin itu. Akhirnya Ronie berhasil keluar dari cermin dan mendapati dirinya berada di kamar ibunya… sendirian.

Dengan penuh kekesalan Ronie mengadu pada ibunya. Sang ibu pun menyadarkan Ronie bahwa anak di dalam cermin itu tak lain adalah dirinya sendiri. Anak nakal yang sifat-sifatnya tak disukai Ronie itu tak lain adalah Ronie sendiri. Sifat-sifat yang ditunjukkan anak dalam cermin itu adalah sifat-sifat Ronie sendiri. Tapi Ronie membantah. Anak itu bukan dirinya. Sifat anak itu jahat dan pelit, kata Ronie. Sifat-sifat yang sangat dibencinya.

Kalau kita yang jadi Ronie, mampukah kita introspeksi?

Kembali ke laptop, kembali ke dunia maya Kompasiana. Mari ambil paksa hikmah cerita anak-anak tadi. Bahwa yang menuduh rasis, bisa jadi justru pelaku rasis. Yang menuduh orang lain tak sportif, bisa jadi justru yang paling tak sportif. Yang merasa selalu jadi korban fitnah, bisa jadi justru tukang fitnah. Yang merasa selalu disalahkan, bisa jadi justru hobi menyalahkan orang. Contoh riilnya, merasa terhina dimaki onta satu kali, lalu memaki orang lain babi ribuan kali, dan anehnya masih saja merasa paling terzalimi. Memang cermin yang jadi kunci. Dan introspeksi kalau memang masih punya hati. Di luar itu semua, kita anggap rahasia Illahi saja. Lakum dinukum, yang sudah paham harap maklum.

Saya jadi ingat lagunya Etrie Jayanthie yang berjudul "Semua itu Katanya". Lagu riang itu menyajikan deskripsi wanita, lelaki, dan waria. Ada lirik yang menyatakan: jangan coba-coba iseng menggoda waria karena ia bisa segalak onta. Pasti bukan ofensif sifatnya. Karena selain Asep S., Jamal Mirdad pun ikut menyanyi gembira bersamanya. Jamal kan artinya onta. Toh ia santai-santai saja. So, mari ikutan nyanyi saja.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun