Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Tuhanku Humoris Kausa

12 Juni 2016   11:08 Diperbarui: 12 Juni 2016   13:29 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini cerita sudah lama terjadinya. Saat "telat" sholat Jumat, sampai Masjid sudah Iqomah. Bilik dan serambi masjid sudah penuh. Kebanyakan berisi anak-anak "underage" yang sebenarnya belum atau tidak wajib salat Jumat, bahkan sunah pun tidak. Tapi mereka mendominasi isi mesjid. Maklum, pas liburan sekolah.

Beberapa orang terlihat menggelar sajadah di halaman masjid. Aku pun berniat idem ditto. Kupilih bagian kanan pintu karena di bagian tengah terlihat tumpukan sandal menggunung. Pasti ditumpuk begitu saja tanpa memikirkan betapa bingungnya nanti para pemilik sandal saat keluar mencari alas kaki masing-masing. Not me.. not me.. I didn't do it.

Saat hendak mengibarkan sajadah ke atas lantai conblock, tiba-tiba kurasakan lenganku ditarik pelan. Ternyata seorang bapak berpeci berbatik yang melakukannya.

"Sini saja, Dik. Di situ kotor," katanya.

Aku menurut saja digamit hingga berdiri di sampingnya, di sisi kiri pintu. Sepertinya beliau tadi sengaja meninggalkan sajadahnya yang telah tergelar di pelataran hanya untuk mengejar dan "menyelamatkanku". (pasti anaknya cantik, batinku). Sempat kuamati di tempat yang dikatakan kotor itu memang terdapat beberapa item penampakan mencurigakan. Semacam miniatur pisang dengan warna agak menghitam, tercecer di atas conblock dan sebagian menempel di dinding sebelah bawah. Astaghfirullah. Bagaimana bisa ada kotoran di situ? Secara lagu Jepang, benda yang sudah menghitam hitam itu pastinya yang disebut Ninja, dengan nada dasar N = T, case sensitive.

"Terima kasih, Pak," ucapku. Beliau hanya senyum tanpa menjawab , lalu segera memulai salat. Aku pun segera "melafadzkan" niat. Sejenak setelah selesai bacaan Fatihah imam yang mengalun dalam tempo andante dan ditutup dengan koor "aamiin" yang sedikit fals dan forte oleh para makmum, tercetuslah kembali suara imam mengalunkan kalimat "Sabbihisma…. …..

Tengah aku menikmati alunan Al-A'la itu tiba-tiba angin bertiup kencang. Banyak sajadah tersingkap nyaris dan bahkan beterbangan, terutama yang dipakai jamaah di serambi dan di pelataran. Sebagian spontan merapikan sajadah mereka, sebagian lagi mengejar sajadahnya, mungkin lupa kalau sedang salat. Sajadahku sendiri hanya sedikit melambai, tidak sampai mobat-mabit.

Namun, yang kuherankan, bahkan sampai sekarang, sajadah bapak di sebelahku itu sedikitpun tidak bergerak. Khusyuk-ku yang sudah jauh berkurang itu pun sebagian berganti keheranan. Dan di tengah alunan Surah Al-A'la itu pikiranku cepat membuat beberapa silogisme ngasal bin setengah matang. Aku diselamatkan dari menempati tempat kotor tadi bisa jadi karena aku pernah punya amal baik. Tapi sepertinya nggak baik-baik amat, masih kalah sama bapak yang menyelamatkanku tadi. Terbukti sajadahku masih bisa "diganggu" angin kencang, sedangkan sajadah bapak itu sama sekali tidak terpengaruh. Ah, kalau saja amalku keterlaluan buruknya, pastinya Dia tidak akan mengirimkan bapak itu untuk menyelamatkanku. Hm.. masuk akal... masuk akal.. enter brain.

Sementara itu surah Al-A'la masih mengalun. Aku pun berniat kembali pada kekhusyukan. Tapi, sepertinya ada yang sengaja "menggangguku". Karena tiba-tiba kudengar langkah seseorang terkesan terburu-buru. Lewat samping kananku, terlihat oleh ekor mataku lambaian sajadah lebar di tangannya….. terbidik…. terarah… pada tempat yang tadi urung kutempati… dan … BULLS EYE‼

Salah satu item mencurigakan berbentuk miniatur pisang menghitam itu pun segera tenggelam dalam naungan sajadah orang itu. Untung ada itu yang namanya sinestesia. Maka cukup hatiku saja yang kusuruh tertawa, bukan mulutku; supaya salatku tak sia-sia menurut para manusia. Please, deh, itu bukan karena aku jahat dan senang melihat orang lain ditimpa "kemalangan". Rasa ketawa itu langsung muncul begitu saja, seakan memang diwahyukan dari sana. Siapa coba yang iseng mencandaiku seperti itu kalau bukan Dia, si humoris kausa? Okey-dokey, You win...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun