Upacara bendera merupakan salah satu sarana memupuk rasa kebangsaan. Dalam upacara bendera, meski tak menyadari, para peserta selalu diingatkan pada bendera negaranya, lagu kebangsaan negaranya, serta jasa para pahlawan yang gugur membela bangsa.
Saat bendera dikibarkan, peserta upacara diingatkan pada merah dan putihnya bendera serta kewajiban untuk menghormatinya sebagai warga negara. Jika disadari dan diresapi, iringan lagu Indonesia Raya pun mestinya menggugah rasa cinta pada bangsa dan negara. Normalnya.
Setelah bendera berkibar, sesi selanjutnya adalah mengheningkan cipta. Pembina atau inspektur upacara akan mengajak seluruh peserta upacara untuk mengheningkan cipta. Umumnya didahului kata-kata berikut:
"Untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur mendahului kita…. mengheningkan cipta.. mulai.."
Lalu terdengarlah alunan lagu "Mengheningkan Cipta" ciptaan Truno Prawit. Lagi-lagi, jika mau meresapi makna lagu, dan jika lagu itu benar-benar digunakan untuk mewakili esensi sesi mengheningkan cipta dalam upacara, maka terkuaklah fakta bahwa belum semua kategori pahlawan dipanggil untuk dipuja dan dihargai.
Dengar seluruh angkasa raya memuja
Pahlawan negara
Nan gugur remaja di ribaan bendera
Bela nusa bangsa
Kau kukenang wahai bunga putra bangsa
Harga jasa kau cahya pelita
Bagi Indonesia merdeka
Begitulah yang masih saya ingat berdasarkan pendengaran saya. Dengan lagu tersebut, tersurat bahwa yang dipuja dan dikenang adalah para pahlawan negara yang remaja yang gugur demi kemerdekaan Indonesia (saja). Pahlawan yang gugur dewasa, wafat lansia, atau yang sekarang masih ada, tidak ikut dikenang jasanya. Tapi bukan masalah. Karena saat mengheningkan cipta itu semua peserta upacara mengenang dan mengirim doa pada semua pahlawan bangsa, tanpa kecuali; bukan hanya pahlawan yang gugur di usia remaja untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Semoga saja begitu, bukan hanya menundukkan kepala tanpa menyimak lagunya dan justru memikirkan hal lainnya.
Pepatah usang mengatakan bahwa "bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya". Jadi, kalau menghargai para pahlawan yang sudah ada saja masih belum paripurna, sebaiknya jangan ditambahi dulu daftar pahlawannya. Apalagi pahlawan yang sudah ditetapkan sebagai pahlawan oleh pemerintah pun kadang masih menuai kecaman dan ketidaksetujuan. Raden Ajeng Kartini, misalnya. Ada saja yang mempertanyakan "kepantasan" pengangkatan beliau sebagai pahlawan. Ada yang berargumen cakupannya hanya kedaerahan, tidak berjuang melawan poligami yang oleh kaum feminis dianggap bentuk "penindasan", dll. Atau Pangeran Diponegoro yang dikatakan sekadar membela harga diri keluarga karena perlawanannya dipicu oleh aksi Belanda yang akan membangun jalan yang melewati makam leluhurnya.
Singkatnya, tinggal sebut nama pahlawannya lalu undang pihak yang tak suka padanya untuk menuliskan daftar kesalahannya. Pasti ada dan bisa jadi banyak sekali item dosa di daftarnya. Hal semacam ini terkesan mengurangi penghargaan pada para pahlawan. Bertentangan dengan semangat "mengheningkan cipta" dalam upacara bendera.
Cipta hanya bisa hening dalam kondisi khidmat berbalut ketenangan. Dalam kondisi cipta yang hening itu kita bisa mengingat segala kebaikan. Cipta tidak bisa hening dalam kondisi gusar dan bising. Baik bising karena amarah maupun ketidakpuasan. Dalam kondisi cipta yang bising itu hanya keburukan dan dosa orang yang akan diingat. Karena dendam dan amarahlah yang mencuat – menguat untuk menggugat.
Namun, adalah hak setiap insan untuk mengheningkan atau membisingkan ciptanya. Tergantung tujuan yang hendak dicapainya. Karena kesadaran kadang menjadi hal yang sengaja dihindarkan. Sehingga keadaan mabuk malah sengaja dipanjang-panjangkan. Bukan hanya mabuk minuman, bahkan mabuk kebencian. Jadi, bukannya mengheningkan cipta supaya bisa mengenang dan menghargai jasa pahlawan, mereka justru membisingkan cipta supaya fasih mengingat dosa-dosa para pahlawan... lalu menghakiminya dengan penolakan. Secara prosedur memang kacau jadinya. Karena jaksanya merangkap hakimnya. Bahkan merangkap saksi ahli, meski hanya secara teori dan literasi, kanan atau kiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H