Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memangnya Kenapa Kalau Tanpa Palu Arit? Sakaw?

21 Mei 2016   23:22 Diperbarui: 21 Mei 2016   23:55 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang pertanyaannya harus dibalik. Supaya mata kanan kita ikut terbuka, bukan hanya mata kiri kita saja. Pertanyaannya bukan "kenapa nggak boleh pakai", tetapi "kalau nggak pakai kenapa".

Sudah bawaan para remaja yang emosinya tengah labil untuk cenderung memberontak, menolak, dan membantah jika dilarang, meskipun itu untuk kebaikan mereka. Orang Jawa mengatakan bahwa remaja itu sedang ngeyel-ngeyel-nya. Kalau bukan kehendak sendiri, meski disuruh atau diminta, mereka gengsi melakukannya. Sebaliknya, kalau dilarang justru bersemangat melakukannya. Disuruh baca bacaan yang menginspirasi, malah baca bacaan yang memprovokasi. Mereka biasa meremehkan potensi bahaya karena merasa diri mampu mengatasinya.

Tak jauh beda kasusnya dengan lambang palu arit yang dilarang pemerintah Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, lambang palu arit berasosiasi dengan citra diri Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah dua kali mengkhianati bangsa ini. Memang palu arit merupakan lambang komunisme atau partai komunis internasional, tapi khusus di Indonesia palu arit itu artinya PKI. Palu arit pernah berarti gerombolan manusia 'bermata merah menyala' yang di masa jayanya membunuhi kyai dan para santri. Trauma mendalam yang dialami bangsa Indonesia akibat perbuatan PKI di masa lalu itu yang menjadikan bangkitnya kewaspadaan ekstra tinggi di tengah masyarakat jika simbol palu arit terkesan akan diberi hak eksistensi di negeri ini. Kewaspadaan ekstra tinggi yang oleh pihak yang tidak setuju disebut sebagai paranoid, fobia, over-baper, atau apalah terserah mereka.

Pemerintah Indonesia melarang 'kemunculan' simbol palu arit di Indonesia bukan karena paranoid, tetapi karena menyadari betapa liciknya strategi PKI untuk kembali eksis. Dan adalah menjadi tugas pemerintah untuk melindungi keselamatan rakyatnya. Pelarangan simbol palu arit itu untuk menutup gerak atau aktivitas bibit-bibit PKI yang kebelet eksis dan berusaha membangun kembali kekuatannya dengan segala cara.

Sayangnya, masih ada sebagian masyarakat yang menentang pelarangan tersebut. Mereka yang menentang itu mengatasnamakan hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan berekspresi. Sebagian lagi yang sudah lanjut level penentangannya mempertanyakan (keabsahan) payung hukum pelarangan lambang palu arit itu. Inilah salah satu ekses reformasi, yaitu munculnya aliran kebebasan yang kurang memerhatikan nilai moral dan kebudayaan. Aliran kebebasan yang rawan sekali ditunggangi beragam kepentingan, termasuk kepentingan petualang politik yang berniat merusak ideologi bangsa ini. Kewaspadaaan pun hilang karena tertipu analogi-analogi yang sengaja dibangun pihak tertentu sebagai lorong rahasia memasukkan ajaran sesatnya.  

Sedikit flashback, tanpa disadari, bergulirnya gerobak reformasi telah menggeser prinsip kedaulatan rakyat dari tempat tertinggi di republik ini ke suatu level di bawah hukum. Karena ternyata hukum yang dijadikan panglima, sementara rakyat hanya jadi anak buahnya. Hukum-lah yang berdaulat, rakyat-lah yang diikat. Maka di mana-mana hukum yang jadi pedoman dan perbincangan. Jika belum/tidak ada hukum yang mengaturnya, perbuatan jahat selicik apapun bisa bebas dari hukuman. Maka berpesta poralah para pengacara. Karena uang panas dari para klien akan menjadi dingin jika masuk ke kantong mereka. Entah karena belum ada hukumnya atau karena hukum memang membenarkannya.

Celah hukum semacam itulah yang kini juga dimanfaatkan para simpatisan palu arit. Yang saya maksud simpatisan di sini tidak spesifik merujuk pada penganut paham komunisme ataupun anggota partai terlarang di Indonesia itu saja, tetapi juga meliputi orang-orang yang sekadar menyukai lambang atau simbol tersebut sebagai bentuk ekspresi diri dengan alasan apapun. Yang mereka ributkan adalah hukumnya, yang mereka serang adalah hukumnya, yang mereka pedulikan hanya hukumnya. Memang itulah eksesnya kalau hukum dijadikan panglima. Setiap warga sama kedudukannya di muka hukum, sama besar haknya untuk membahayakan hukum. Lalu bedanya apa Indonesia dan Amerika? Jelas beda, pokoknya.

Kesampingkan dulu soal hukum, mari coba renungkan bagaimana seharusnya jika rakyat yang jadi pemegang kedaulatan tertinggi. Rakyat Indonesia terdiri atas manusia dan manusia memiliki budaya. Kedaulatan rakyat bisa berarti kedaulatan budaya. Hukum pun ada di dalamnya, tetapi istilahnya norma dan hukum adat. Kalau kedaulatan benar-benar di tangan rakyat, mestinya pendekatan rakyat yang dalam hal ini berarti  pendekatan budaya atau kultural, lebih diutamakan daripada pendekatan hukum formal. Lalu, bagaimana ceritanya simbol palu arit jika didekati secara kultural?

Bangsa Indonesia terluka oleh perbuatan PKI, organisasi yang diidentikkan dengan palu arit. Puncaknya di tahun 1965, tetapi durasinya sudah bertahun-tahun sebelumnya. Yang trauma tentu yang mengalaminya dan yang terkena dampaknya meski saat itu belum lahir ke dunia. Kalaupun ada yang merasa terzalimi dengan aksi pembalasan oleh sebagian masyarakat dan TNI karena dituduh PKI, secara logika pastinya juga trauma dengan lambang palu arit PKI. Jika tahu begitu, meski baru lahir kemarin sore, meski sudah baca buku putih, buku ijo, maupun buku merah sejarah bangsa dari berbagai sudut pandang, apa mereka-mereka itu tega membangkitkan luka lama para orangtua, saudara, kerabat, atau teman-temannya dengan opini yang menentang pelarangan pemunculan simbol palu arit? Tega menyaksikan para orangtua pelaku sejarah dan korban lainnya kembali histeris meski tak mampu mengeluarkan kata sedikitpun karena luka lamanya terkoyak kembali tanpa ampun? Lalu untuk apa?

Apa sih ruginya kalau tidak memakai simbol palu arit? Nggak ada, kan? Nggak dianggap keren? Justru keren jika tak pake simbol palu arit.

Apa sih untungnya memakai, memasang, atau memamerkan lambang palu arit di tanah air Indonesia tercinta ini? Apa maksudnya? Apa tujuannya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun