Kebanggaan? Bangga dalam hal apa? Ingin pujian? Siapa yang mau memuji? Sekadar berekspresi trus nggak peduli kalau itu bagi orang lain menyakitkan hati? Atau pamer karena sudah tak punya empati dan nurani?
Mungkin akar budaya luhur bangsa Indonesia memang sudah tercerabut hingga ke akar-akarnya. Karena sikap empati seakan sirna dari hati generasi muda maupun generasi tuanya. Jika susah membayangkan bagaimana pelarangan simbol palu arit merupakan bukti empati pada bangsa sendiri, coba analogikan dengan pelarangan kostum Ku-Klux-Klan di mata penduduk kulit hitam di Amerika sana.
Jadi, tak usah muluk dan rumit membahas hukum segala, cukup ditinjau dari sisi budaya. Karena kedaulatan rakyat mengisyaratkan bahwa pendekatan budaya harus diutamakan daripada pendekatan hukum. Lalu kembalikan pada judul di atas: Memangnya Kenapa Kalau Tanpa Palu Arit? Sakaw?
–-
NB:Â
Saya mendukung pelarangan lambang palu arit oleh pemerintah. Oleh karenanya saya tidak mencantumkan gambar lambang tersebut meski menurut Kompasiana lambang palu arit (sepertinya) tidak dianggap melanggar 'konten'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H