Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Panglima Perang yang Disukai Musuh-musuhnya

16 Mei 2016   12:40 Diperbarui: 16 Mei 2016   12:53 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah almanak kuno tersirat pemeo usang. Bahwa jika para pandhita dan brahmana di suatu negeri berperilaku keras dan bertutur kasar, maka negeri itu dalam bencana besar. Tentu saja ini berlaku untuk para pandhita, brahmana, atau yang seanalogi dengannya.

Namun, pemeo itu ada lanjutannya. Bahwa jika seorang raja memiliki hati lemah lembut dan pemaaf, maka wilayah dan kekuasaannya lama-lama akan habis dicaplok orang. Istilah 'raja' dalam pemeo ini meliputi segala jenis pemimpin yang memiliki wilayah dan atau kekuasaan. Termasuk di antaranya seorang panglima perang.

Panglima perang bertugas memimpin pasukan. Menyerang musuh atau mempertahankan kawasan. Tegas, tabah, dan berani adalah sikap yang harus dia miliki. Tapi sikap itu hanya cukup diterapkan di masa damai. Di masa perang, sikapnya harus dilengkapi lagi. Dengan sikap keras tak kenal ampun. Karena dalam perang, kadang hanya tersedia dua pilihan: membunuh atau ditewaskan.

Namun, perang tak selalu berarti perang. Tak selalu berarti bunuh-bunuhan. Perang bisa berarti pertentangan dan saling menjerumuskan. Sebagian menyebutnya perang bintang. Bukan bintang jasa atau bintang tanda kepangkatan, melainkan bintang asterisk. Jika dituliskan, jadinya: perang*. Tanda bintang itu artinya syarat dan ketentuan berlaku. Kalau di ranah anggota banggar dewan perwakilan rakyat, bintang artinya: butuh kesepakatan, please. Kalau secara Ahok di DKI, tanda bintang pernah diterjemahkan sebagai "nenek lu".

Meski sekadar perang bintang, panglima perangnya tetap  tidak boleh lembek, tidak boleh terlalu sopan dan sungkan, apalagi jaim. Supaya musuhnya tidak kurang ajar. Hingga berani mendekat berbaur hanya untuk mengintip kelengahan. Tapi, bukan serigala berbulu domba yang paling berbahaya. Karena domba hanya ditempatkan di kandang di luar saja, tidak dibawa ke dalam rumah. Paling-paling bisanya mencegat di depan pintu rumah. Itu pun kalau ia berhasil keluar dari kandangnya. Jauh lebih bahaya serigala berbulu kucing kampungan. Masuk dan berkeliaran di dalam rumah tanpa pengawasan. Meski diberi makan kenyang, tetap tega nyolong makanan dan mengusik burung peliharaan.

Sudah ada contoh nyatanya. Seorang panglima gagah perkasa mendeklarasikan perang terhadap koruptor. Malah kecolongan di rumahnya sendiri. Karena kucing-kucing yang diasuhnya di rumahnya dan disayanginya ternyata jelmaan koruptor. Sang panglima pun hanya berkomentar prihatin, dan sebundel kata-kata pembelaan citra diri di balik pernyataan normatif kepatuhannya pada hukum.

Panglima perang terlalu santun, rakyat yang jadi pasukannya pun bingung. Ini perang betulan, atau cuma berbalas pantun. Karena santun itu serima dengan pantun. Kalau perang, serimanya dengan berang, serang, garang, terjang!

Ada suatu saat di mana rakyat bebas untuk menentukan: mau perang dengan koruptor, atau sekadar berbalas pantun dengan koruptor dan pendukungnya. Kalau mau perang dengan koruptor, pilih pemimpin yang berani berang. Kalau sekadar untuk berbalas pantun dengan para koruptor, pilih saja pemimpin santun. Karena pemimpin santun disukai koruptor. Diajak berbalas pantun sehingga lupa janji serta  tujuan dan bimbang untuk menghukum.

Last but not least, pemimpin santun itu berarti pemimpin lelaki. Karena istilah santun mengandung siratan ego yang tinggi. Lain halnya dengan pemimpin sopan. Pemimpin sopan tidak selalu santun. Bisa laki-laki, bisa perempuan, karena merupakan perpaduan jiwa antara keduanya. Suaranya bisa melembut, bisa juga meninggi setinggi-tingginya, lebih tinggi dari suara tinggi pria umumnya yang cuma tenor.  Karena 'sopan' lebih tinggi daripada tenor.

Istilah "santun", meski belakangnya berbunyi "tun", umumnya tidak dianggap jenis nada atau "tone". Kalau dipaksa diibaratkan jenis lagu, santun itu hymne. Apa pun isi kata-kata atau liriknya, tetap saja melambai bikin terharu atau bahkan menangis alias mewek.

–-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun