Nama beliau Ali Mustafa Yaqub. Lahir di Batang, Jawa Tengah, pada tanggal 2 Maret 1952 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 28 April 2016. Mantan imam besar Masjid Istiqlal Jakarta ini  meninggal pada usia 64 tahun. Â
Di masa hidupnya tokoh yang biasa dipanggil Kyai Ali ini dikenal sebagai tokoh Islam moderat yang cerdas. Â Opininya pun lugas dan tegas. Satu yang saya ingat dan paling berkesan adalah saat terjadi polemik tentang arah kiblat. Ada sebagian masyarakat mempermasalahkan kurang tepatnya arah barat sebagai arah kiblat bagi Indonesia. Dengan berbekal kemajuan teknologi dan pemikiran, mereka berpendapat arah kiblat perlu dikoreksi karena alat presisi sudah dimiliki. Namun, kyai Ali bergeming dengan pendapatnya. Beliau tetap "memfatwakan" barat sebagai arah kiblat bagi Indonesia. Penyesuaian arah kiblat Indonesia yang lebih presisi ke arah barat laut dianggapnya mempersulit diri. Meski aplikasi Google Map sudah tersedia di Internet dan kompas kiblat berbayar sangat mudah dimiliki oleh orang yang tak melarat, Kyai Ali tetep keukeuh dengan pendapatnya. Saya setuju dengan beliau, tapi dengan penalaran yang sedikit berbeda.
Kyai Ali mengajukan beberapa dalil untuk mendukung pendapatnya. Beliau berpedoman pada empat arah mata angin berdasarkan tafsir berbagai rujukan dari masa lalu. Â Tapi saya hanya berbekal pengetahuan ilmu bumi di masa kanak-kanak dan sedikit keterampilan "menghubung-hubungkan" fakta atau kejadian. Dari sudut pandang saya, Kyai Ali merupakan satu di antara ulama Indonesia yang paham konsekuensi bulatnya bentuk bumi ini. Kyai Ali tentu menghormati ilmu pengetahuan karena logika beliau konsisten.
Tak sulit dilacak dan dipahami bahwa konsep kiblat muncul dalam keadaan peradaban yang masih jauh dari modern. Saat itu konsep bumi datar dan geosentris masih diyakini sebagai bagian dari kebenaran. Jika bumi datar, maka sama sekali tak mengherankan jika seluruh manusia di muka bumi diharapkan berdiri menghadap lurus ke satu titik yang sama, yaitu Kabah sebagai pedoman arah kiblat. Hingga ratusan tahun kemudian orang tidak memandang konsep datarnya bumi sebagai masalah yang berarti.
Namun, sains membuktikan bahwa bumi kita tidak datar, melainkan bulat menyerupai bola pepat. Meski gravitasi tetap memungkinkan semua manusia di permukaan bumi sama-sama berdiri menginjak tanah di bawahnya, konsep kiblat mestinya dipahami dengan koreksi ilmu bumi. Mengaplikasikan teknologi harus memperhatikan bagian-bagian inti dari konsep yang akan direvisi. Karena buminya bulat, bagaimana mungkin semua orang menghadap lurus ke satu titik yang sama? Ambil sebuah bola dan duapuluh lima boneka kecil berbentuk manusia. Bagaimana cara memasang boneka itu di sekeliling permukaan bola agar menghadap lurus ke satu titik yang sama?
Kiblat versi Google Map, kompas kiblat, maupun "rumus segitiga bola" tetap saja memuat asumsi datarnya bentuk bumi, asumsi yang jelas tidak valid lagi. Kalau diketahui asumsi dasarnya tak valid, tentu asumsi-asumsi turunannya juga tak valid. So what? Saat teknologi justru berpotensi menyesatkan keyakinan, mengapa pula harus dipaksakan? Kiblat Indonesia adalah arah barat, sesuai pendapat Kyai Ali yang moderat. Karena tak mungkin kita membuat garis lurus di permukaan bola. Yang diklaim lurus ala Google Map itu sebenarnya lengkung adanya. Maka konsep kiblat fisik yang pernah diyakini di masa lalu itu mestinya bertransformasi menjadi konsep kiblat simbolis, simbol persatuan umat Islam.
Semoga ada banyak penerus Kyai Ali yang mampu meneruskan kecendekiawanannya sehingga masyarakat Indonesia makin tercerahkan pemikirannya; bukan sebaliknya. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H