Mungkin sedang apes saja pesohor berjuluk Zaskia Gotik (ZG) ini terpaksa berurusan dengan aparat hukum dan "penegak kebenaran" di seluruh Indonesia maupun dunia maya. Ia dianggap melecehkan lambang negara. Bagi jiwa yang tenteram, sebenarnya ulahnya tidak terlalu keterlaluan. Memang keterlaluan, tetapi tidak terlalu. Apalagi jika mau memaklumi latar belakang pendidikannya yang tidak setinggi para ahli hukum maupun para ahli menghukum.
Bagi yang mudah menghukum orang, perbuatan ZG yang menjawab "32" atas pertanyaan tanggal kemerdekaan Indonesia di sebuah acara televisi swasta nasional itu terlihat melecehkan lambang negara. Karena dengan jawaban itu berarti ZG menyalahkan lambang negara Garuda Pancasila yang bulu sayapnya masing-masing cuma 17. Padahal kembali lagi, jika kita sedang berjiwa tenteram, kita bisa mengonstruksi pola pemikiran ZG dalam menjawab pertanyaan tersebut. Kira-kira begini:
ZG kurang lihai berhitung. Ia cuma pernah mendengar/tahu bahwa jumlah bulu sayap Garuda Pancasila melambangkan tanggal kemerdekaan Indonesia. Bisa jadi ia sebenarnya juga ingat jumlah bulu sayap Garuda Pancasila memang 17, tapi burung garuda kan sayapnya ada dua, maka ia jumlahkan  bulu sayap kanan dan bulu sayap kirinya. Adapun hasilnya cuma 32, itu karena salah hitung akibat gugup saja.
Hal lain yang juga menjadi sasaran kemarahan para penegak kebenaran dunia maya adalah jawaban "bebek nungging" atas pertanyaan apa lambang sila kelima Pancasila. Sudah jelas itu jawaban "ngasal" yang bersumber dari ketidaktahuan. Tidak ada indikasi untuk melecehkan lambang negara. Bisa jadi ia sengaja "dijebak" oleh pihak tertentu. Maksud awalnya tentu bukan dijebak untuk berurusan dengan aparat hukum, melainkan hanya untuk dipermalukan di depan umum. Jahat memang niatnya.
Dari selentingan berita yang berseliweran di media online, salah satu undang-undang yang digunakan untuk menjerat ZG adalah UU nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Itu merupakan undang-undang yang dalam beberapa tulisan saya sebelumnya (sinidan sini) terbukti mengandung kesalahan; mungkin bisa disebut cacat hukum. Lampiran gambar burung Garuda Pancasila dalam Undang-Undang no 24 tahun 2009 tidak sesuai dengan teks bagian penjelasan undang-undang itu sendiri, khususnya penjelasan Pasal 48 ayat 2 huruf b yang berbunyi:
"Mata rantai bulat yang berjumlah 9 melambangkan unsur perempuan, mata rantai persegi yang berjumlah 8 melambangkan unsur laki-laki. Ketujuh belas mata rantai itu sambung menyambung tidak terputus yang melambangkan unsur generasi penerus yang turun temurun."
Jika dilihat gambar Garuda Pancasila pada Lampiran UU no 24 tahun 2009 itu terlihat jelas bahwa jumlah rantai pada perisai Garuda Pancasila berjumlah 18 (kelebihan satu). Lampiran tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang no 24 tahun 2009. Jika lampiran itu ternyata bertentangan atau tidak sesuai dengan isi undang-undangnya, maka undang-undang itu cacat hukum dan mestinya direvisi dulu karena terbukti tidak cermat.
Jadi, jeratan UU no 24 tahun 2009 pada ZG mestinya otomatis lepas, kecuali undang-undang yang terbukti cacat hukum tetap boleh dipakai untuk memidana. Namun, jika undang-undang itu masih akan ditegakkan, mestinya KPK juga dipidana karena terbukti menggunakan lambang negara yang "rusak" di kantornya (sini). Garuda Pancasila yang dipasang di kantor KPK mata rantainya cuma 12 biji, mungkin yang 5 sudah dikorupsi. Jika memang dikorupsi, berarti sudah tidak utuh lagi, Garuda Pancasila bisa dikatakan rusak dan tidak lagi sesuai dengan undang-undang no 24 tahun 2009. Semoga KPK mengerti.
Di lain pihak, ketidaktahuan ZG tentang lambang negara tidak boleh dilepaskan dari kualitas pendidikan kewarganegaraan di lembaga pendidikan. Hilangnya Penataran P4 dari agenda tahun ajaran baru sekolah menengah dan perguruan tinggi merupakan salah satu alasan kurangnya pemahaman warga pada simbol-simbol negaranya. Â Sementara pendidikan kewarganegaraan di sekolah dasar pun masih terkesan asal-asalan.
Walau bagaimanapun, kasus ZG ini dapat dijadikan momentum untuk berbenah. Jika kehormatan lambang negara masih diakui, undang-undang yang mengaturnya harus diperbaiki, diperjelas, dan dipertegas. Jika memungkinkan sebaiknya dibuat satu model resmi yang konsisten. Masyarakat tinggal copy-paste. Supaya tidak dibingungkan dengan istilah "warna alam" yang ambigu, supaya jelas gambar bulir padinya ada berapa, ceplok kapasnya ada berapa.
Banyaknya versi lambang negara yang salah di dunia maya mestinya menjadi perhatian pemerintah. Apalagi gambar lambang negara yang salah di buku pelajaran sekolah resmi dari pemerintah (Buku Sekolah Elektronik). Jika perlu, Penataran P4 bagi siswa baru sekolah menengah dihidupkan kembali. Mengapa harus khawatir dengan tuduhan indoktrinasi jika dimaksudkan untuk hal yang positif? Saya pribadi menengarai kekosongan "indoktrinasi kebangsaan" itu justru dimanfaatkan pihak tertentu untuk indoktrinasi "aliran sesat/radikal". Jadi, karena tidak divaksin kebangsaan, jadi gampang kena penyakit radikal. So, jangan sampai "pengorbanan" Zaskia Gotik ini sia-sia begitu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H