Mohon tunggu...
Giens
Giens Mohon Tunggu... Penulis - freelancer

I like reading, thinking, and writing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Komnas HAM Menggiring Opini dengan Mengabaikan Data sebelum G-30S 1965

30 September 2015   20:29 Diperbarui: 2 Oktober 2015   16:31 1727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menyimak Indonesia Lawyer Club di TVONE tadi malam (29/9/2015), sebagian kebingungan saya terjawab. Adanya indikasi keinginan para mantan PKI untuk membersihkan namanya lumayan terekspos dalam diskusi yang mengusung tema "50 Tahun G30S/PKI; Perlukah Negara Minta Maaf?".

Bahkan, bukan cuma itu. Pihak-pihak yang merasa di atas angin oleh bantuan komnas HAM dan pengacara kondang yang dengan penuh semangat melaporkan nasib mereka ke kancah internasional itu mengisyaratkan akan adanya tuntutan susulan (ganti rugi) sebagai kompensasi "mahalnya" maaf yang akan mereka berikan pada negara. Lucunya, negara yang mereka harapkan memohon maaf pada mereka itu juga mereka akui sebagai negara mereka.

Saat menyimak, saya juga dibingungkan oleh pertanyaan: sebenarnya negara disuruh minta maaf pada siapa? Pada PKI? Pada keluarga PKI? Atau pada keluarga korban "salah sasaran" dalam pembersihan terhadap PKI dan antek-anteknya? Atau pada korban keganasan PKI, seperti keluarga para jenderal Pahlawan Revolusi? Kehadiran komnas HAM yg ikut memberikan kesaksian "mencurigakan" dalam diskusi itu mengisyaratkan adanya permainan. Selama ini tidak ada ceritanya komnas HAM membela pihak pemerintah, apalagi TNI. Jadi, tujuan maaf dari negara menurut versi mereka tentunya bukan keluarga para jenderal pahlawan revolusi.

Saya katakan mencurigakan karena berdasarkan pernyataan Komnas HAM yang dalam hal ini diwakili oleh komisionernya Nur Khaeron, kesimpulan atas penyelidikan mereka hanyalah "bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dalam peristiwa tragedi kemanusiaan pasca G30S 1965". Tentu yang dimaksud adalah pembasmian besar-besaran atas PKI dan simpatisannya yang tanpa melalui proses pengadilan. PKI dan simpatisannya itulah yang dibela hak asasinya oleh komnas HAM, mereka pula yang nasibnya diperjuangkan dan akan diperuangkan (dimintakan ganti rugi material) oleh pengacara kondang Nursyahbani Katjasungkana (NK) hingga ke tingkat internasional. Tentu saja ganti rugi tersebut akan diberikan pada ahli warisnya. Dan kalau usaha pengacara itu nantinya berhasil, negara Indonesia bisa bangkrut seketika. Biaya beban sejarah mengalahkan biaya pendidikan putra-putri bangsa di masa depan. Keseriusan pengacara itu dalam mengamalkan Pancasila terutama sila ketiga patut dipertanyakan. Karena dalam butir-butir sila ketiga jelas tersurat ajaran untuk mengutamakan kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.

Saya yang sempat ikut prihatin dan bingung akhirnya tercerahkan oleh dialog antara Pak Kivlan Zein mantan Kakostrad dan komisioner komnas HAM Nur Khaeron. Kivlan Zein mengingatkan bahwa sebelum G30S 1965 itu PKI telah menebar teror pembunuhan di mana-mana. Kivlan Zein juga mempertanyakan pada komnas HAM mengapa hanya fokus pada tragedi pasca 1965 dan tidak mau tahu sebab-sebab terjadinya? Jawaban komisioner komnas HAM bahwa mereka tidak punya data (kekerasan yg dilakukan PKI sebelum 1965) cukup menjelaskan semuanya. Bahwa komnas HAM sengaja untuk fokus membela pihak tertentu dalam rekomendasinya. Bahwa dengan dalih hukum, pengacara NK sengaja melaporkan tragedi kemanusiaan pasca peristiwa G30S ke pihak internasional dengan menutup mata, hati ,telinga, dan pikiran pada peristiwa sebelum G30S yang mendasari peristiwa yang diadukannya.

Kesalahan Pemahaman Yang Menguntungkan PKI

Ada pemahaman bahwa pembasmian besar-besaran PKI oleh rakyat dan TNI pasca G30S diakibatkan oleh isu kudeta dan pembunuhan para jenderal Pahlawan Revolusi. Ini tidak sepenuhnya benar. Isu kudeta dan pembunuhan para jenderal oleh PKI hanya salah satu pemicu kemarahan rakyat Indonesia. Meluapnya kemarahan rakyat pada PKI lebih banyak diakibatkan oleh aksi-aksi teror dan pembantaian yang dilakukan PKI dan simpatisannya terhadap para santri, tokoh masyarakat, dan berbagai pihak yang dianggap menghalangi tujuan PKI, dan ini justru terjadi SEBELUM G30S.

Jadi, isu kudeta bukan satu-satunya pemicu pembasmian PKI. Implikasinya, meskipun terbukti bukan dalang peristiwa G30S, kekejaman PKI tetap tidak diragukan lagi. Tidak terbukti sebagai dalang peristiwa G30S bukan berarti PKI tidak berdosa atas pembantaian orang-orang yang dianggap penghalang tujuan mereka. Dan lagi, meskipun analisis forensik menyatakan bahwa tidak terjadi mutilasi atas tubuh para jenderal seperti yang dipropagandakan di zaman orde baru, bukan berarti PKI tidak biadab. Karena menculik, membunuh, dan menimbunnya dalam satu liang di tempat yang tidak layak jelas merupakan perbuatan yang jauh dari peri kemanusiaan.

Entah apa atau siapa yang berdiri di belakang komnas HAM sehingga penyelidikan dan pernyataan mereka atas tragedi 1965 terlihat jelas tendensinya membela pihak tertentu. Entah motif apa yang mendorong pengacara NK untuk membela korban di pihak tertentu saja dan pura-pura tidak mengetahui adanya korban keganasan aksi pihak yang ia bela itu. Membatasi pengaduan hanya pada peristiwa pasca G30S sangat jelas tendensinya supaya hanya PKI dan simpatisannya yang terlihat "teraniaya". Mungkin ini termasuk tipu muslihat pencitraan. Begini jadinya kalau hukum dipolitisasi. Kebenaran diingkari, keadilan dimungkiri, demi tercapainya ambisi. Wajar saja. Penegak hukum belum tentu penegak kebenaran, apalagi penegak keadilan.

Namun, dari aksi komnas HAM yang mengesankan seolah yang manusia cuma yang dihakimi rakyat Indonesia pasca G30S 1965, dan pengacara yang mengesankan seolah-olah para korban yang hendak dibelanya tidak pernah berbuat jahat sebelumnya sehingga tak pantas dihukum, apalagi dilenyapkan; saya menemukan 5 kata sandi NATO yang membentuk semacam pola atau modus operandi yang sangat terkenal dalam kalimat berikut: Juliet dapat Oscar di bulan November dalam film Romeo in Uniform. Tak ada istilah yang lebih tepat dari itu.

Pemerintah Jangan Gegabah

Pemerintah hendaknya berhati-hati mencermati masukan dari komnas HAM untuk meminta maaf pada golongan tertentu akibat tragedi 1965. Data komnas HAM sengaja tidak dilengkapi untuk menggiring opini masyarakat yang tak teliti. Tragedi kemanusiaan yang dilakukan PKI sebelum G30S 1965 dianggap mitos belaka. Sedemikian culasnya. Mungkin dikiranya rakyat Indonesia bodoh semua.

Saya setuju pendapat Pak Kivlan Zein; kalau pemerintah disuruh minta maaf pada (keluarga) PKI demi rekonsiliasi, suruh (keluarga) PKI minta maaf lebih dulu pada rakyat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun