Usai menyantap (aku dulu sempat menyebutnya merampok) mie milikku itu, masih dengan mulut berlepotan kuah, ayah berlalu begitu saja dari hadapanku. Iya. Tak bicara apapun, tanpa ucapan ataupun sekadar isyarat terima kasih sedikitpun. Biasanya setelah adegan itu nafsu makanku sudah berkurang. Bagaimanapun juga aroma mie yang satu itu selalu menggugah seleraku, jadi bohong kalau kuceritakan nafsu makanku hilang sama sekali.
Apakah aku kapok memasak mie lagi? Tentu saja tidak. Karena masih banyak waktu-waktu lain di saat aku dapat dengan bebas menikmati mie kesayanganku itu semerdeka-merdekanya. Mie yang kuseduh utuh itu masih panjang-panjang ukurannya. Kadang kumakan sampai kerongkongan lalu kutarik lagi keluar. Memang jorok sih, tapi itu sekadar ekspresi kemerdekaanku. Itu caraku bercengerama dengan si mie tersayangku. Tentu saja aku tak melakukannya di hadapan orang lain. Aroma dan rasa mie itu terlalu enak untuk kupamerkan pada orang lain.
Oh iya, aku juga punya mekanisme sendiri untuk "membalas" ayah. Biasanya kutunggu hingga ayah berangkat lagi, lalu kuambil kail, kucari cacing, lalu kupancing ikan di kolam ayah. Yang kuincar ikan mujair atau nila. Syukur-syukur dapat lele. Kalau ada ikan gurameh kesayangan ayah yang nyangkut di kail, pasti kulepas lagi. Satu atau dua ekor mujair cukuplah. Aku cukup lincah membersihkan ikan dan menggorengnya sendiri. Bumbunya cuma sedikit garam. Menu ini pun kusukai, ikan nila atau mujair goreng garing hasil gerilya aksi pembalasan. Kuusahakan aksiku serapi mungkin. Bekas ikan, baik saat mentah maupun matang kusingkirkan dengan sempurna. Sisik ikan kubuang jauh-jauh di parit pinggir sawah. Kalau bekas matangnya biasanya tak ada karena kumakan setulang-tulangnya. Sempurna, kan? Aku tak khawatir bakal ketahuan. Toh ayah juga tak mungkin menghitung ikan nila atau mujair di kolamnya. Dengan ini aku beranggapan status kasusku dengan ayah sudah IMPAS‼ :-)
Tapi itu cerita zaman dulu. Sekarang ini tak pernah kujumpai lagi rasa mie seperti itu meski pada merek yang sama. Harganya sudah berubah sekitar 1000%, tapi kualitas rasa dan teksturnya tak lagi mempesona seperti dulu. Jangan-jangan kualitas bumbu dan bahan-bahannya memang sengaja diturunkan. Atau mungkin lidahku sudah beradaptasi mengikuti hukum kepuasan maksimal Gossen? Kurasa tidak.
2.           Bio2 (1 = do)
Ini salah satu "obat ganteng" yang pernah pula menjadi favoritku. Rasa segar dan bersih saat awal-awal menggunakannya tak dapat lagi kurasakan sekarang. Sabun cuci muka itu sekarang rasanya sama saja dengan sabun biasa, meski harganya sudah banyak-kali-lipat lebih mahal.
Padahal dulu, sejak SMA hingga kuliah, obat ganteng itu selalu menjadi pilihan utama sebagai pendamping sabun mandiku. Munculnya kemasan kecil sepanjang jari tangan bahkan membuatku sering membawanya ke kampus. Swear, saat itu rasa segar setelah memakainya bertahan hingga berjam-jam. Rasa segar itu bukan hanya berpengaruh pada fisik, tetapi juga psikis. Pikiran jadi fresh.
Kalau makan mie instan, "luwak"-nya ayah, kalau memakai obat ganteng ini adakah "luwak"-nya? Ternyata ada juga. Aku biasa meletakkan gayung berisi alat mandiku di luar, di rak dekat kamar mandi. Naifnya, bio2-ku juga kuletakkan di sana. Aku tahu kalau produk satu itu banyak peminatnya, tapi aku tak menyangka akan ada pemakai-pembonceng rahasia yang menggerogoti volume bio2-ku. Aku cuma heran dengan proses susutnya volume bio2-ku yang rasanya terlalu cepat itu.
Rahasia terkuak saat suatu hari bio2-ku itu habis-bis, wadahnya yang sudah merit mengkerut gepeng terpencet sempurna sudah kubuang, sementara aku belum sempat membeli lagi. Belum sempat anggarannya, maksudnya. Saat  bengong di kamar menunggu waktu berangkat kuliah siang, tiba-tiba teman kos-ku, sebut saja namanya Kuclux, muncul di depan pintu lalu bertanya,"Mas, bio2-mu mana? Kok kucari-cari nggak ada?"
"Habis. Memangnya kenapa?" tanyaku heran.
"Wah, itu enak dipakai, Mas. Rasa segernya lama. Muka ini rasanya bersih, jadi semangat beraktivitas,"jawabnya enteng.