Bersujud di kaki hukum, tapi melupakan kepalanya; itulah kondisi masyarakat saat ini, khususnya yang berhubungan dengan kisruh politik dan kisruh hukum di negeri ini. Kisruh politik mengenai perebutan gengsi pengaruh pada Presiden Jokowi, kisruh hukum mengenai pakar mana yang fatwanya pantas dianut seantero negeri.
Maka mulailah ditebar bunyi-bunyian KUHP, KUHAP, konvensi, yurisprudensi, hukum tata negara milik negara lain, pendapat ahli hukum zaman kuno, hingga ocehan anak sekolah--mahasiswa--maupun profesor-profesor yang kebelet tenar. Berisik memang. Hanya sebagian yang terdengar tidak terlalu mengganggu.
Yang aneh itu, semua seakan terjebak dengan kelatahan berpikir, sekadar mengikuti tren. Maka terjangkitilah mereka itu oleh"sindroma tulah peribahasa".
Beberapa di antara sederetan peribahasa yang berhasil menguasai pikiran mereka adalah:
- Buruk muka cermin dibelah.
- Anak di pangkuan dilepaskan, beruk di hutan disusukan.
- Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi.
Sudah. Tak tega saya menambahi sindiran peribahasa lagi. Ke bidikan sebenarnya masalah saja, yaitu soal "Kapolri gate" (termasuk aksi-aksi dan fenomena ikutannya).
Ada Jokowi, ada Cakapolri, ada DPR, ada KPK, ada Parpol, ada rakyat. Dalam hal ini rakyat terdispersi menjadi orang awam, pak hutan (pakar hukum tata negara), pak stupid (pakar hukum studi pidana), kaum cerdas, dan penggembira.
Di antara penggembira itu, ada yang selalu mengumpat dan mengatai pihak lain sebagai kodok, padahal mereka sendirilah kodoknya. Ada tuh peribahasa (halah peribahasa lagi, terpaksa): ibarat "kodok", sedikit hujan banyak bermain. Tapi meski kodok, suara mereka justru seberisik nyamuk.
Hwahhh... saya termasuk penggembira, sih. Yang jelas, saya bukan penggemar hutan maupun stupid.
Anyway, kembali ke tuduhan awal saya di atas, orang-orang membicarakan hukum sampai ke sungut-sungut mikroskopik-nya, tapi justru melupakan SUMBER dari SEGALA SUMBER HUKUM-nya. Iya, ke mana Pancasila coba? Di-kemana-in?
Sungut mikroskopik hukum mana yang membuat seorang Cakapolri mengabaikan salah satu butir Pancasila tentang: mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan?
Sungut mikroskopik hukum mana yang membuat DPR (sebagai sebuah lembaga) berlagak pura-pura tak baca koran tak nonton televisi, tak paham media sosial, sehingga sengaja menempatkan negara di ujung kericuhan politik?
Sungut mikroskopik hukum mana yang membuat Polri bertindak semaunya sendiri?
Sungut mikroskopik hukum mana yang membuat PRESIDEN TAKUT mengambil keputusan?
Pak Presiden Jokowi tak perlu ikut-ikutan mbulet alias plintat-plintut belajar hukum maupun menyiasati sungut-sungut hukum. Kembali saja pada PANCASILA. Katakan saja sumber hukumnya adalah PANCASILA, katakan saja payung hukumnya dasar negara kita.
Pancasila sudah cukup jadi alasan dan pedoman menyelesaikan masalah negeri. Sungut-sungut mikroskopik hukum itu terlalu menyebalkan untuk dijadikan pedoman saat keadaan gawat merisaukan seperti saat ini. Kalau PANCASILA nggak cukup, berarti perlu diganti itu dasar negara.
Ini peluang bagus Pak Jokowi. Bisa disurvei, pak hutan dan pak stupid jarang yang belajar Pancasila apalagi butir-butirnya yang sesuai TAP MPR terbarunya berjumlah 45. Anggota DPR juga, anggota Polri juga. Sungut hukum mana yang mampu membatalkan Pancasila? Atau jangan-jangan Pak Jokowi juga nggak baca butir-butir Pancasila? Hayo ngaku..... Â :-)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H