Kegigihan seorang pemimpin makin terlihat saat diterpa hambatan, ancaman, tantangan, dan gangguan. Itu 4 tipe kendala ala Wawasan Nusantara. Keberhasilan seorang pemimpin mengatasi keempat tipe kendala tersebut membuktikan ketangguhan dan kredibilitas pemimpin tersebut. Tapi, nanti dulu.. Saya tulis Wawasan Nusantara, tentu yang terlibat bukan hanya satu orang manusia.
Ketahanan nasional bukan urusan presiden semata, bukan tanggung jawab kepala negara sendirian saja. Seluruh rakyat warga negara ikut bertanggung jawab mengurusnya. Model terenkapsulasi di level negara ini mestinya juga berlaku untuk level pemerintahan di bawahnya. Provinsi, kabupaten, kotamadya, kecamatan, hingga tingkat kelurahan maupun desa.
Menjadi pemimpin yang hebat itu pastinya susah, tapi jadi rakyat yang baik juga tak mudah. Untuk jadi rakyat yang baik tak cukup hanya "mencoblos" saat pemilihan kepala daerah. Rakyat yang baik itu bukan orang-orang yang seusai pemilihan pemimpin, lalu ongkang-ongkang menunggu disejahterakan. Apalagi menjadikan acara menagih janji pemimpin sebagai aktivitas harian yang kadang dibumbui umpatan.
Rakyat yang baik adalah rakyat yang cerdas. Dan kecerdasan ini bukan melulu urusan sekolah. Kecerdasan justru banyak berhubungan dengan kemampuan untuk berbuat baik. Karena untuk berbuat baik, orang perlu cerdas. Contoh nyata saat pilpres maupun pilkada. Rakyat yang cerdas pastinya tahu bahwa dalam setiap kalimat janji kampanye tersisip sebuah kata tersembunyi yaitu "MARI". Artinya, setelah pemimpin terpilih, mereka diajak untuk menyukseskan janji-janji itu, bukan cuma menuntut ini dan itu lalu menghakimi tanpa mau tahu.
Rakyat yang cerdas itu pastinya sadar jika kegagalan pemimpinnya itu kegagalan mereka juga. Apalagi jika yang gagal itu program pembangunan untuk kepentingan bersama. Rakyat yang gagal membantu pemimpinnya (baik karena tak mampu maupun tak mau) harusnya ikut menanggung malu, kecuali hati mereka memang masih dan selalu tertuju pada calon pemimpin yang batal jadi.
Fenomena paling mutakhir di Jakarta contoh nyatanya. Soal gubernurnya yang sekarang menjadi RI-1 saya skip saja. Karena yang menghujatnya saat "meninggalkan" kursi DKI-1 pun masih akan tetap menghujatnya meski seumpama si RI-1 itu kembali menjadi gubernur DKI sekarang juga. Jadi ini sekadar masalah akhlak dan keberpihakan belaka.
Yang menarik disoroti adalah perjuangan gubernur DKI yang sekarang. Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, si wakil yang melaju ke kursi gubernur yang kosong ditinggal "exodus". Ahok yang berani, Ahok yang kadang main hantam kromo, Ahok yang antikorupsi itu sebenarnya aset siapa? Bukan lagi aset partai politik, tentunya. Secara parpol sudah tak ada tercantum namanya. Di level provinsi mestinya dia aset DKI Jakarta, aset seluruh warga Jakarta. Masalahnya, apakah warga Jakarta mengakui dan merasa?
[caption id="attachment_370809" align="aligncenter" width="300" caption="(www.weddingmapper.com)"][/caption]
Kini sang Gubernur tengah terlibat 'konflik' dengan para anggota dewan. Terkait masalah APBD yang diusulkan. Pastinya memang sarat kepentingan. Tapi kepentingan siapa? Siapa membela siapa? Gubernur Ahok ibarat ronin, samurai yang tak punya majikan. Sementara para anggota dewan punya majikan masing-masing dan terikat janji kesetiaan pada golongan. Pihak mana yang lebih mampu mengaplikasikan "bushido"?
Mari colek nama mantan gubernur Jokowi dalam bahasan ini. Jokowi anggota partai yang diketuai Megawati. Kedudukannya dalam partai memang di bawah Megawati. Tapi apakah sebagai kepala negara, Jokowi selalu menaati Megawati? Pastinya tidak, tapi banyak juga yang menuduhnya demikian. Tak perlu jauh membahas ke sana, kembali lagi ke Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama.
Ahok bukan anggota partai manapun. Mau patuh pada siapa? Mau berbakti pada siapa? Mau berjuang untuk kepentingan siapa? Pastinya pada rakyat yang dipimpinnya. Pada siapa lagi?