Masyarakat masih belum sepenuhnya yakin politik uang itu bisa diberantas. Keyakinan itu muncul saat Bawaslu Kabupaten Blora melakukan pertemuan-pertemuan dengan warga desa di Kabupaten Blora. Pertemuan tersebut dalam rangka mengkampanyekan anti politik uang melalui Desa Anti Politik Uang.
Setidaknya dari empat desa yang sudah melakukan pertemuan (Desa Muraharjo, Desa Tlogowunggu dan Desa Jurangjero, Desa Ledok), Jika ada yang memberikan praktik politik uang maka akan diterima, tidak ada uang tidak nyoblos masih di akui oleh masyarakat yang hadir.
Tetapi tidak sedikit yang mengatakan kalau politik uang tidak bagus. Bahkan salah satu tokoh adat masyarakat, mengatakan kalau politik uang justru merendahkan harga diri yang menerima. Maka hal yang harus di lakukan memang bersepakat untuk menolaknya dan mau melaporkan jika menemukan adanya praktek politik uang tersebut.
Masyarakat juga yakin kalau politik uang itu sumber korupsi dan membuat tidak adil, karena orang baik sulit menjadi pemimpin hanya karena tidak punya uang. Tetapi sebaliknya orang yang tidak baik tetapi mampu membeli suara masyarakat akhirnya yang terpilih. Tetapi mereka yakin kalau politik uang itu bisa dicegah, dengan melakukan penolakan dan dimulai sejak dini.
Memang itu adalah suatu fenomena yang sudah menjadi ritus budaya ritus "kesejahteraan" Â yang sebenarnya hanya sesaat saja, dalam lima tahunan Pemilu atau Pemilihan, serta enam tahunan dalam Pemilihan Kepala Desa. Apa yang disampaikan oleh masyarakat tidaklah salah. Problem kultural ada budaya politik yang tumbuh masyarakat mengarah pada gejala tersebut.
Secara istilah politik uang itu bisa dikatakan praktik pendistribusian uang atau barang dan jasa dari kandidat kepada pemilih dalam Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah. Pada level di desa juga muncul saat adanya Pemilihan Kepala Desa.
Prakteknya Politik uang kini bisa bermetamorfosis, bisa dalam bentuk bantuan sosial, pemberian barang hingga hadiah. Bahkan memberikan mahar kepada Parpol saat akan mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah atau calon anggota legislatif menjadi salah satu bagian dari yang namanya politik uang.
Di masyarakat, praktiknya cukup beragam, bisa terjadi pada pembelian suara, pembelian individu, aktivitas dan pelayanan sosial.Â
Pembelian suara, tindakan manipulasi proses pemberian suara, penghitungan suara, dan rekapitulasi (aggregating ballots) dalam berbagai cara seperti penggelembungan suara, merusak atau memanipulasi hasil pemungutan suara, melakukan kesalahan penghitungan dengan sengaja mempermainkan proses rekapitulasi suara dan lainnya.Â
Inilah yang sering meruntuhkan integritas pemilihan umum adalah. Semisal ada kasus Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang diakibatkan oleh adanya penyelenggara yang mencoblos lebih dari dua kali. Juga pada kasus rekapitulasi manual secara berjenjang.
Pembelian individu marak dalam bentuk pemberian uang langsung, sembako, menjajikan dengan uang pribadi hingga pengobatan gratis.Â
Tidak bisa dihindari, bahwa relasi kekuasaan terbangun atas kemampuan kapital yang cukup besar dan kuat. Siapa yang memiliki kapital yang banyak, maka akan lebih leluasa mendapatkan kekuasaan. Cara-cara itulah yang terus menerus digunakan untuk menarik simpati masyarakat.
Sebab kekuasaan bisa didapatkan jika adanya partisipasi yang banyak untuk memilih seseorang. Bukan pada pilihan kepintaran, moral. Tetapi pada bagaimana kekuasaan itu bisa diraih dengan cara apapun. Sebab keterpilihan itu berdasarkan pada berapa banyak jumlah suara yang diperolehnya atau jumlah kepala.
Dampak dari politik uang sebenarnya juga sering di gemakan oleh Pemerintah, pegiat Pemilu hingga masyarakat. Tetapi nyatanya tetap saja ada dan selalu ada. Â Kalau boleh diibaratkan politik uang itu a necessary evil, suatu hal yang kurang disukai tetapi tidak dapat ditolak. Â Ya....ibarat setan yang ditakuti tetapi selalu dirindukan. Â Masyarakat sadar akan akibatnya tetapi merindukan moment-moment tersebut.
Adanya politik uang merupakan bentuk pelanggaran dan mengerogoti integritas pemilu/pemilihan. Dampak politik uang bisa memperbanyak  praktik korupsi seperti suap, pemerasan, kecurangan, dan nepotisme. Termasuk juga bisa memunculkan intimidasi, kekerasan, dan pencurian.
Di proses inilah pengawalan dan pengawasan serius harus dilakukan. Â Di banyak negara proses rekapitulasi suara inilah titik kritis sebab jika kalah maka tidak akan bisa membentuk pemerintahan (parlementer).
Maka Desa Politik Uang ataupun Desa Pengawasan, bukan hanya untuk mengajak masyarakat menolak dan mencegah politik uang. Tetapi juga mengajak untuk bisa aktif dalam mengawal proses yang terjadi. Seperti mengawal pemungutan dan penghitungan suara di TPS. Serta memberikan informasi apapun yang mengarap pada bentuk dugaan pelanggaran.
Itu menggambarkan ikhtiar agar masyarakat perlahan menolak pemberian politik uang. Tetapi memang baru pada masyarakat, Parpol dan elite inilah yang sebenarnya menjadi kunci agar politik uang tidak terjadi.
Perlawanan terhadap praktik politik uang tidak semata persoalan menolak pemberian dalam urusan pemilu tapi juga persoalan mengubah budaya patronase politik menjadi budaya yang egaliter.
Perubahan budaya ini tidak mungkin dilakukan dalam waktu sebentar, memerlukan upaya terus menerus berkelanjutan dan pada saat yang sama menanamkan nilai-nilai baru dalam demokrasi yakni kesetaraan dan solidaritas. Sekali lagi perang terhadap politik uang menjadi keharusan, agar keadilan pemilu/pemilihan bisa terlaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H