Tidak bisa dihindari, bahwa relasi kekuasaan terbangun atas kemampuan kapital yang cukup besar dan kuat. Siapa yang memiliki kapital yang banyak, maka akan lebih leluasa mendapatkan kekuasaan. Cara-cara itulah yang terus menerus digunakan untuk menarik simpati masyarakat.
Sebab kekuasaan bisa didapatkan jika adanya partisipasi yang banyak untuk memilih seseorang. Bukan pada pilihan kepintaran, moral. Tetapi pada bagaimana kekuasaan itu bisa diraih dengan cara apapun. Sebab keterpilihan itu berdasarkan pada berapa banyak jumlah suara yang diperolehnya atau jumlah kepala.
Dampak dari politik uang sebenarnya juga sering di gemakan oleh Pemerintah, pegiat Pemilu hingga masyarakat. Tetapi nyatanya tetap saja ada dan selalu ada. Â Kalau boleh diibaratkan politik uang itu a necessary evil, suatu hal yang kurang disukai tetapi tidak dapat ditolak. Â Ya....ibarat setan yang ditakuti tetapi selalu dirindukan. Â Masyarakat sadar akan akibatnya tetapi merindukan moment-moment tersebut.
Adanya politik uang merupakan bentuk pelanggaran dan mengerogoti integritas pemilu/pemilihan. Dampak politik uang bisa memperbanyak  praktik korupsi seperti suap, pemerasan, kecurangan, dan nepotisme. Termasuk juga bisa memunculkan intimidasi, kekerasan, dan pencurian.
Di proses inilah pengawalan dan pengawasan serius harus dilakukan. Â Di banyak negara proses rekapitulasi suara inilah titik kritis sebab jika kalah maka tidak akan bisa membentuk pemerintahan (parlementer).
Maka Desa Politik Uang ataupun Desa Pengawasan, bukan hanya untuk mengajak masyarakat menolak dan mencegah politik uang. Tetapi juga mengajak untuk bisa aktif dalam mengawal proses yang terjadi. Seperti mengawal pemungutan dan penghitungan suara di TPS. Serta memberikan informasi apapun yang mengarap pada bentuk dugaan pelanggaran.
Itu menggambarkan ikhtiar agar masyarakat perlahan menolak pemberian politik uang. Tetapi memang baru pada masyarakat, Parpol dan elite inilah yang sebenarnya menjadi kunci agar politik uang tidak terjadi.
Perlawanan terhadap praktik politik uang tidak semata persoalan menolak pemberian dalam urusan pemilu tapi juga persoalan mengubah budaya patronase politik menjadi budaya yang egaliter.
Perubahan budaya ini tidak mungkin dilakukan dalam waktu sebentar, memerlukan upaya terus menerus berkelanjutan dan pada saat yang sama menanamkan nilai-nilai baru dalam demokrasi yakni kesetaraan dan solidaritas. Sekali lagi perang terhadap politik uang menjadi keharusan, agar keadilan pemilu/pemilihan bisa terlaksana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H