Mohon tunggu...
Sugie Rusyono
Sugie Rusyono Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis merupakan ritus keabadian

Hobby menulis, Korda Akademi Pemilu dan Demokrasi Kabupaten Blora

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Andai Lumbung Pangan Masih Ada

27 Mei 2020   12:36 Diperbarui: 27 Mei 2020   12:34 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lumbung pangan (padi)  merupakan sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan hasil panen   padi   masyarakat   setempat.   Setelah   panen   raya,   masyarakat   kemudian   menyisihkan sebagian   kecil   hasil   panennya   untuk   disimpan   dalam   lumbung-lumbung   pada   yang   telah disediakan di desa tersebut. Hal itu dilakukan agar, masyarakat desa terhindar dari kelaparan atau kekurangan pangan pada saat musim kemarau atau lainnya, atau ketika gagal panen dan bencana yang terjadi. Sehingga warga bisa memanfaatkan padi yang ada di lumbung untuk kepentingan bersama.  

Namun kini, keberadaan sistem lumbung pangan tersebut agaknya sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat perdesaan.  Padahal esensi dan pesan yang disampaikan secara tidak langsung dari lumbung padi sangatlah baik.  Tidak hanya pesan soal ekonomi, tetapi juga pesan tentang moral, kebersamaan, kemanusiaan dan kegotong royang dalam prilaku kehidupan masyarakat pedesaan.

Kalau kita melihat setidaknya mulai tahun 80-an, banyak lumbung padi yang berfungsi sebagai lumbung pangan banyak yang tidak aktif atau mati sebab tidak lagi digunakan oleh masyarakat desa setempat. Bangunan yang dulunya sebagai lumbung banyak yang sudah hilang atau beralih fungsi.  Untuk itu agaknya saat ini upaya menghidupkan kembali system lumbung padi ditengah-tengah masyarakat merupakan suatu keharusan dan wajib.

Ditengah pandemi Covid-19 yang melanda saat ini, dimana semua serba susah. Masyarakat yang terdampak cukup terpukul. Kemudian muncul lembaga-lembaga yang aksi solidaritas dengan berdonasi untuk bisa diberikan kepada warga yang paling berdampak adanya Covid-19.  Donasi beras dan pemberian paket sembako banyak dilakukan dan diberikan langsung. Aktivitas masyarakat banyak yang dibatasi, membuat menurunnya aktifitas ekonomi.

Berkaca pada hal itu, Covid-19 memang tidak bisa di duga datangnya atapun tidak bisa terbayangkan dahsyatnya wabah itu.  Andai saja tradisi lumbung padi ini masih dilestarikan oleh masyarakat khususnya pedesaan tentu akan terasa ringan. Masyarakat akan dengan mudah menyalurkan sebab stok pangan yang ada cukup dan memberikan nilai lebih untuk masyarakat. Artinya warga tidak perlu repot-repot lagi.

Melihat hal itu, nampaknya upaya menghidupkan lagi lumbung pangan menjadi sesuatu yang sangat penting, sekaligus perlu direalisasikan.  Seperti di Kabupaten Blora mayoritas adalah petani, bahkan menurut Kepala Dinas Pertanian Blora untuk tahun 2020 stok pangan khususnya beras dan jagung cukup aman. Dimana produksi gabah kering panen mencapaai 161.267 ton atau setara 87.036 ton beras, jumlah itu masih bisa terus bertambah karena banyak petani yang belum panen.Potensi pertanian selain padi, dapat juga dioptimalkan, jagung, palawija dan hasil pertanian lainnya.

Belum lagi ada budaya di beberapa desa yang menyimpan sendiri gabah hasil panenya. Mereka tidak menjualnya, gabah disimpan dan digunakan untuk hidup selama satu tahun atau untuk persediaan jika membutuhkan uang baru kemudian di jualnya untuk kebutuhan hidup.  Petani yang menyimpan ini umumnya dijumpai di daerah petani yang hanya satu kali panen. Tetapi yang perlu diingat adalah budaya menyimpan gabah masih ada di kalangan petani. 

Setidaknya ada beberapa faktor yang membuat alasan mengapa Lumbung pangan perlu digalakkan lagi,  Pertama, Memperkuat ketahanan pangan masyarakat, Bukan tanpa alasan, dengan semakin banyaknya masyarakat (petani) menyimpan hasil panennya di lumbung, maka stok pangan didesa tersebut akan melimpah. Sehingga bila terjadi sesuatu maka, akan dengan mudah memperoleh kebutuhan pokok tersebut.

Tidak bisa dipungkiri, saat ini petani yang memiliki masa panen 2-3 kali cenderung menjual semua hasil panennya kepada tengkulak.  Akibatnya petani tidak memiliki stok gabah  sebab sudah dijual semua. Bukan hanya soal itu saja, selalu melonjaknya harga beras seakan menjadi ironi bagi para petani, jerih payahnya tidak sebanding dengan hasilnya.  Petani terpaksa harus membeli beras dengan harga mahal padahal dia sendiri yang menghasilkan.  

Kedua, Memupuk   rasa   kebersamaan   dan   Solidaritas   Sosial,   sudah   jelas   dengan   semakin banyaknya petani yang merelakan hasil panennya untuk disimpan, secara otomatis muncul rasa solidaritas diantara mereka. Bahwa hal itu  dilakukan   adalah  untuk kepentingan bersama dan kebaikan bersama diantara mereka. Sama-sama saling menguntungkan satu sama lain dengan tujuan yang sama pula.  Lamban laun maka budaya masyarakat yang dahulu hidup akan tumbuh kembali.   Dimana   masyarakat   desa   yang   hidup   saling   tolong   menolong   dan   penuh   nuansa kekerabatan.

Kemudian yang tidak kalah penting adalah tentang pengelolaannya harus dilaksankan dengan baik dan bertanggungjawab. Saat ini sebenarnya di beberapa Kabupaten sudah mulai merintis hal itu, seperti di Kabupaten Blora Kantor ketahanan pangan membuat lokasi percontohan terlebih dahulu, sebelum di laksanakan di semua desa/kelurahan.

Bisa memanfaatkan kelompok tani yang ada sebagai pengelola, artinya petani yang tergabung dalam   kelompok   tani   tersebut   memiliki   satu   lumbung   tersendiri   yang   akan   diisi   dan dimanfaatkan oleh mereka sendiri.  Atau gabungan dari kelompok tani yang ada di desa tersebut hanya memiliki satu lumbung. Hal itu tinggal pilihan dari masyarakat, mana sekiranya yang lebih mudah dan efektif dalam pengelolaannya.

Memang, keberadaan lumbung pangan memang tidak bisa dianggap remeh, terbukti hal itu sudah dilakukan   oleh   masyarakat   kita   sejak   zaman   dulu,   agar   kecukupan   pangan   selalu   terpenuhi apabila ada musim paceklik atau ada bencana yang datang secara tidak diduga.  Masyarakat sudah mempersiapkan sejak awal. Seperti halnya datangnya Covid-19, kearifan lokal seperti inilah yang sejatinya perlu dilestarikan. 

Desa   yang memiliki lumbung desa tidak memiliki warga miskin absolut.   Atas   dasar   itulah,     nilai   kearifan   lokal   masyarakat   akan   lumbung   padi,   dipertahankan   dan hidupkan lagi. Pasalnya lumbung desa adalah salah satu ciri khas masyarakat kita sejak dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun