Mohon tunggu...
Gilang Prayoga
Gilang Prayoga Mohon Tunggu... profesional -

Consultant I Freelance Writer I Pasca Sarjana Unsoed I Maiyah I Sebuah Catatan Tentang Indonesia I

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memilih Tidak Memilih

9 Maret 2014   12:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:07 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sepanjang beberapa hari terakhir ini saya di perkenankan untuk di pertemukan dengan sekelompok masyarakat kecil di desa. Riuh rendah kami bercerita. Ngalor ngidul tema ceritanya. Tetapi selalu saja ada hal-hal unik dan menarik serta hikmah-hikmah yang di ambil dari pergaulan dengan wong cilik itu. Wong Cilik yang selama ini di lingkupi dengan stigma kebodohan, keluguan, ketertinggalan peradaban serta di jadikan objek pembangunan dari penguasan yang silih berganti namun wong cilik juga ternyata dapat memandang dari sorot matanya persoalan dengan sederhana, lugas, namun menyiratkan kepolosan dan kejujuran.

Tahun 2014 ini di negeri kami sedang hangat dan bersiap untuk menyambut pesta demokrasi lima tahunan. Tahun politik kalau kata intelektual yang sering mereka lihat di televisi. Dan sadar mereka adalah warga negara yang baik maka mereka juga turut serta asyik ikut mendiskusikan, mempergunjingkan, menganalisis bagaikan para pakar politik atau mereka-reka, otak-atik gatuk, meramalkan bagai paranormal modern di warung-watung kopi, di gardu poskamling, atau di tempat ojek pengkolan jalan.

Mereka riuh memperbincangkan konstelasi politik dari nasional sampai daerah dan dusun mereka masing-masing. Mulai dari siapa presidennya yangn cocok menggantikan SBY. Partai manakah yang akan memenangkan pemilu 2014. Siapakah caleg DPR/DPRD yang akan mereka pilih. Sampai dengan isu-isu mutakhir seperti gugatan pemilu serentak oleh Yusril ke MK, apakah benar tahun 2014 nanti tidak akan ada Pemilu. kasus korupsi Hambalang yang di duga sampai ke istana, sampai masalah ustad hariri yang menghebohkan itu.

Tak percaya saya, bahwa mereka para wong cilik yang jauh dari pendidikan akademis yang memadai, wajahnya yang ndeso dan jauh dari pembersih muka, tidak pernah bersentuhan dengan birokrasi pemerintahan, tidak mendapatkan akses kelayakan hidup secara langsung oleh pemerintah itu dapat berbicara banyak hal tentang negeri ini. Tidak kalah dengan para pembesar-pembesar negeri ini yang selalu tiap hari tampil di televisi, apalagi kalau hanya sekadar di bandingkan dengan rata-rata mahasiswa sekarang ini.

Dapat informasi dari mana mereka ini.

Tak habis-habis saya menggelengkan kepala saking kagum dan bangganya. Tidak habis pikir dari mana mereka mendapatkan informasi semacam itu. Tentu ini buah dari kebebasan pers, atau merebaknya akses mereka ke sosial media. Demam Facebook, Twitter, Kompasiana. Dan diam-diam mereka juga menyimpan di balik jaket bututnya atau di kantong celana belelnya gadget keren yang tidak kalah dengan anak-anak muda sekarang. Meskipun dari type dan merk jauh dari yang namanya prestise, namun setidaknya fungsionalitasnya mereka dapatkan. Atau mungkin mereka adalah admin dari akun anonim kontroversial tersohor di negeri ini. Triomacan2000.

Gerombolan itu kasak-kasuk dan asyik bercerita dan terkadang di selingi tawa cekikikan.

“Hayo tebak siapa yang nanti jadi Presiden Indonesia?” Kata Darsono

“Tentu Jokowi donk!, meskipun wajahnya Ndeso tapi jujur dan dekat dengan rakyat cilik macam kita ini,”

“Ah, Jokowi belum tentu di restui Megawati. Mega belum sepenuh hati dan berat untuk menyerahkan trah Soekarno kepada yang bukan anak turunnya. Lagian Jokowi sedang di uji mengatasi masalah Jakarta yang semakin menumpuk. Dia juga sedang kerepotan menangkal tuduhan pencitraan”

“Bah ! Mana ada sekarang politisi yang tidak pencitraan.” Kata seorang Batak yang ngefans dengan Jokowi.”Kalau di liput media bilangnya pencitraan kalau tidak di liput media bilangnya kurang transparan”.

“Saya menjagokan Prabowo. Karena dia tegas, berwibawa dan gagah.” Kata seorang lain.

“Saya dukung Yusril. Dia pinter, intelek, dan Ngganteng.”Teman yang lain tidak mau kalah.

Aku pilih Dahlan Iskan. Aku Pilih Gita Wiryawan.. Aku pilih Ical. Aku pilih Wiranto. Aku pilih Surya Paloh....

Riuh rendah mereka menjagokan usulan idaman calon pemimpin mereka. Beradu argumen, mempertandingkan wacana dan informasi yang mereka ketahui.

“Lantas apakah kalau mereka menjadi Presiden di negeri ini, apakah kasus-kasus seperti nasionalisasi Freeport dan penguasaan aset sumber daya alam Indonesia, hukum dagang sapi, suap menyuap, korupsi, kehancuran moral dan berjuta masalah yang menggunung di Indonesia ini juga dapat mereka selesaikan?”

Akhirnya mereka capek sendiri. Bingung sendiri.

Akhirnya, seorang duduk termangu-mangu di pojokan berguman lirih,”Aku milih tidak milih....”

“Huss, dasar ntar bisa di tuduh subversif dan di fatwa haram sama MUI, bisa masuk neraka jahanam lho...!!”

“Lho gimana tha, ga milih salah, milih juga salah. Ngewohi negara ini.”

Gilang Prayoga

Bobotsari, 9 Maret 2014

Keterangan :

Ngewohi (jawa) : serba salah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun