Makanya saya kurang terperangah waktu dengar kabar dari Festival film di Jerman beberapa waktu kemarin, stand film Indonesia kosong melompong. Agak kurang heran begitu. Apakah memang sesulit itu untuk mengkoordinasi para produsen untuk sekadar memajang karyanya, nah, itu saya juga nggak tahu.
Teknologi konversi video juga sudah semakin canggih. Sejak jaman XBMC, lalu ganti nama jadi Kodi, hingga muncul layanan media server seperti Plex, semuanya mendukung bermunculannya cara-cara baru untuk menikmati film. Situs semacam Netflix, merupakan perwujudan perkembangan teknologi ini. Dan Netflix tidak sendirian. Pemain-pemain besar juga mulai bermain di ranah baru ini. HBO, Amazon, BBC, dan banyak lagi lainnya akan menyusul. Dalam hal ini, bagi saya aplikasi-aplikasi yang bermunculan ini adalah pasar film juga. Demikian pula dengan Pirate Bay dan Kickass torrent. Yang penting ada servis penyedia konten, ada yang menawarkan konten film, untuk dikonsumsi.
Bagi kelas menengah yang malas bergerak dan enggan mengarungi macetnya lalu lintas, internet sebenarnya menawarkan solusi-solusi yang menarik bagi pasar film. Sebab ia memangkas ongkos distribusi, harga jualnya bisa ditekan jadi lebih murah. Lalu konsumen menyukainya. Bagaimana Netflix dengan demikian pesat melaju sebagai salah satu situs paling banyak dikunjungi, ini merupakan indikasi bahwa geliat konsumennya sangat baik untuk industry yang satu ini. Atau lihat juga kelakuan Sonny Pictures kemarin, mereka merilis The Interview yang kocak parah itu ke Youtube.
Resiko dibajak akan selalu ada. Dilawan juga percuma, pembajak selalu punya cara. Tapi kelas menengah yang agak gagap teknologi juga banyak. Ini segmentasi yang lumayan empuk. Apalagi jika klaim bahwa kelas menengah di Indonesia itu sedang meningkat jumlahnya itu benar.
Sementara itu Internet juga akan terus berkembang. Saya sedih ketika melihat beberapa aplikasi penyedia konten video di Indonesia yang selalu berpikir tentang Monetizing. Saya tidak akan menyebut merek disini. Yang jelas, ada salah satu layanan konten streaming semacam ini, belum apa-apa, sudah meminta user untuk membayar. Padahal layanan yang ditawarkan kurang terjaga kualitasnya. Kurang lengkap pula kontennya. Ada juga yang versi gratis. Tapi usernya dihujani dengan iklan-iklan yang mengganggu dan tidak nyaman dilihat.
Untuk menciptakan layanan versi gratisan namun kece badai, kita butuh hacker-hacker gila lagi bersahaja yang lebih menyukai ‘power’ daripada ‘money’. Hacker Argentina pernah melakukannya. Aplikasi yang mereka bikin sangat dahsyat, bikin Hollywood ketar-ketir. Coba googling “Popcorn Time” jika teman-teman ingin tahu sebenarnya saya lagi ngomong apa ini.
Sebagai orang yang sering malas untuk jalan ke Mall, saya merasa pesimis juga kalau pasar film Indonesia terus-terusan diidentikkan dengan layar bioskop. Mau sampai kapan berjualan secara konvensional melulu sementara konsumennya sudah lari kencang. Pasti ada acara lain untuk mengedarkan film, untuk menjual film. Masyarakat penontonnya juga sudah berubah kebiasaan-kebiasaannya. Walaupun mengubah kultur bukan perkara mudah. Memaksakan kultur juga biasanya hanya akan berujung pada penjualan yang gagal.
Mengenai layar bioskop, saya punya ide aneh lainnya: Adakah kultur sinema mengalir deras di darah kita? Ataukah kultur kita sebetulnya lebih cocok untuk menonton layar yang lebih kecil, misalnya Laptop, atau TV? Bagaimana dengan kultur layar tancap? Ah, saya ini bicara apa. Baiklah saya sudahi saja ocehan melantur ini. Untuk sementara waktu, saya masih akan menenggelamkan diri dalam pelukan Netflix yang nyaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H