Belakangan ini saya lagi keranjingan nonton film pakai layanan semacam Netflix atau Hulu Plus. Gara-gara kebanyakan nonton Netflix, saya jadi kepikiran sebuah ide: Gimana sih caranya biar saya bisa nonton film-film Indonesia, dengan nyaman dan legal, dalam format video yang mumpuni alias HD, dengan kualitas audio yang menggelegar.
(Jangan tanya saya bagaimana caranya mengakses Netflix di Indonesia, silakan googling saja, gampang kok.)
Kenyataan pahit buat negara sebesar Indonesia adalah film seperti masih dipandang sebagai hiburan yang elit. Buktinya, cuma ada berapa sih bioskop di negara segede gaban ini? Sepertinya di seluruh Indonesia, baru ada sekitar 800-an layar. Rasio nya kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah penduduk.
Dari jumlah yang sudah kecil itu, masih harus diiris-iris lagi: berapa banyak sih orang yang pergi ke bioskop buat nonton? Sehingga muncul lah pertanyaan ini, bagaimana sih kondisi pasar film Indonesia?
Pasar. Ini salah satu kata kunci yang menarik didiskusikan. Pasar bisa diintepretasikan macam-macam. Saya sendiri suka mengartikannya sebagai tempat terjadinya transaksi antara yang jual dan yang beli. Sesimpel itu. Ada yang menawarkan, ada yang tertarik lalu mengambil tawarannya. Pasar film, artinya ada yang menawarkan film, dan ada yang membeli (baca: menontonnya).
Kadang-kadang, ada saja film yang sangat bagus, dan saya ingin menontonnya lagi dan lagi, tapi terbentur pada kenyataan ini: tidak ada pasar yang menawarkan film tersebut. Atau bisa juga pasarnya ada, tapi bentuknya festival, di luar kota. Buat penonton film kelas teri seperti saya, agak susah kalau harus bela-belain pergi ke luar kota demi menyaksikan sebuah film.
Di keadaan semacam itulah, saya butuh pasar film. Beruntung di Indonesia aturan-aturan hak cipta masih compang-camping, jadi mudah sekali untuk menemukan film-film bajakan, baik secara online, maupun dalam bentuk keping DVD. Pasarnya malah ramai di lapak bajakan. Penjualnya militan, bersentuhan langsung dengan masyarakat konsumennya. Bahkan di sudut sempit jembatan penyebrangan pun mereka bisa hadir dan bertransaksi. Buat saya, ini menyenangkan. Semarak transaksi yang ramai. Ada yang menawarkan dengan harga super murah. Ada pula yang membeli dengan antusias. Meskipun adegan memilih-milih filmnya menjadi agak susah, karena abang penjualnya tidak menyediakan katalog.
“Yang ini udah bagus belum, bang?”
“Yang ini masih Cam, ya bang?”
Dan si abang penjual akan menjawab seperlunya, sesuai dengan katalog yang terekam di kepalanya. Kita nggak pernah tahu juga apakah penjual sudah mengetesnya satu per satu. Namun masalah barang bajakan adalah masalah janji penjual. Mereka seolah-olah punya mantra: ini murah, jadi ga usah protes. Kita beli sesuatu yang kualitasnya tidak menjanjikan. Sementara yang dicari oleh konsumen sebenarnya adalah janji-janji akan mutu yang dapat dipercaya. Kita lagi nggak ngomonin mutu konten lho ini, tapi mutu tampilannya saja dulu. Layak dikonsumsi atau tidak. Gambarnya pecah-pecah atau tidak, suaranya cempreng atau jernih, dan sebagainya.
Lagi-lagi, gelaran festival film bisa jadi opsi yang menarik. Tapi, sudahkah festival-festival film di Indonesia menwarkan ruangnya sebagai pasar? Saya sendiri bukan jenis orang yang rajin berangkat ke Festival film. Dari sekali dua kali berangkat ke Festival Film, saya selalu menjadi penonton saja. Datang ke venue, nonton, lalu pulang. Tidak ada semarak pasar yang ramai bertransaksi disana. Atau, barangkali ada, tapi saya nya saja yang rabun. Seru kan kalau ada festival film lengkap disertai dengan jajaran lapak-lapak film original, yang indie sekalian, untuk memuaskan gairah mengoleksi barang-barang langka.