Mohon tunggu...
Margiana
Margiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa ppg gelombang 2 tahun 2024

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Diferensiasi dalam Pendidikan: Menghargai Potensi Siswa

4 Januari 2025   13:35 Diperbarui: 4 Januari 2025   13:35 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar (Sumber : Freepik)

Belakangan ini beragam konten cerdas cermat yang menampilkan siswa sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) ramai di media sosial. Sejumlah konten kreator memberikan pertanyaan seputar sejarah dan geografis kepada siswa, namun mereka keliru menjawab pertanyaan yang diajukan. Sontak warganet menghujat habis-habisan siswa di kolom komentar: ada yang menyebut bahwa "anak sekolah sekarang gak tau apa-apa" hingga memaki dengan ucapan kasar: "bodohnya anak sekolah jaman sekarang, gitu aja gak tau."

Dari fenomena sederhana terlihat masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak peka pada keragaman potensi siswa. Mereka terlalu cepat menghakimi para siswa yang tidak bisa menjawab pertanyaan terkait sejarah atau geografis. Bagi sebagian warganet pertanyaan seperti itu mungkin mudah untuk dijawab; tapi mereka lupa bahwa tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama. Seperti kata Albert Einstein, jangan paksakan ikan belajar memanjat. Menurut Einstein, setiap manusia memiliki kecerdasan masing-masing yang belum tentu sama dengan orang lain. "Semua orang jenius. Tetapi jika Anda menilai seekor ikan dengan kemampuannya memanjat pohon maka dia seumur hidup akan mengira dirinya bodoh," ujar Einstein, pakar Fisika peraih Nobel.

Guru punya peran penting untuk menggali potensi setiap siswa. Kerenanya, guru harus punya perspektif bahwa siswa itu beragam: memiliki latar belakang berbeda, punya keunikan masing-masing, dan mempunyai potensinya sendiri; tak bisa disamaratakan.

Psikolog dari Harvard University, Howard Gardner berpendapat bahwa tidak ada manusia yang tidak cerdas. Paradigma ini menentang teori dikotomi cerdas-tidak cerdas. Gardner juga menentang anggapan "cerdas" dari sisi IQ (intelectual quotient), yang mana menurutnya hanya mengacu pada tiga jenis kecerdasan, yaitu logiko-matematik, linguistik, dan spasial. Gardner melakukan penelitian untuk membantah teori dikotomi cerdas-tidak cerdas. Ia lantas mengembangkan teori kecerdasan majemuk. Dalam teori itu, kecerdasan seseorang tidak hanya dipandang dari satu sisi (IQ), paradigma yang ditanamkan bahwa setiap anak merupakan individu yang unik.

Gardner mengkategorikan kecerdasan manusia menjadi delapan jenis. Pertama kecerdasan visual-spatial, kedua kecerdasan linguistik-verbal, ketiga kecerdasan intrapersonal, keempat kecerdasan interpersonal, kelima kecerdasan logical-mathematical, keenam kecerdasan musikal, ketujuh kecerdasan bodily-kinesthetic, dan kedelapan kecerdasan naturalistik. Berpijak pada teori Gardner itu, seorang guru harus mampu memahami kebutuhan individu siswa sekaligus memenuhi target kurikulum secara kolektif. Apalagi, menurut teori perkembangan kognitif Piaget, setiap anak belajar pada tingkat perkembangan yang berbeda-beda, dan hal ini berimplikasi pada bagaimana mereka merespons materi pembelajaran.

Menurut penelitian Rahmawati & Santoso (2020), pembelajaran yang tidak memperhatikan kebutuhan siswa dapat menurunkan motivasi belajar. Juga dapat membuat siswa jenuh belajar, kurang minat pada materi pembelajaran, prestasi belajar rendah, hingga menimbulkan emosi negatif seperti kelelahan dan kegelisahan. Untuk mengatasi problem belajar itu, guru dapat menerapkan pembelajaran diferensiasi. Menurut Tomlinson (2001), pembelajaran berdiferensiasi dalam pendidikan merupakan penyesuaian strategi pengajaran agar sesuai dengan kebutuhan, minat, dan tingkat kemampuan siswa. Pendekatan ini memungkinkan siswa yang belajar dengan kecepatan berbeda untuk tetap mendapatkan perhatian yang sesuai dan mencapai hasil optimal. Guru punya fleksibilitas menyesuaikan konten untuk tujuan pembelajaran, proses, hasil atau produk, serta lingkungan belajar siswa. Pendekatan diferensiasi ini mengharuskan guru untuk mengajar siswa berdasarkan karakteristik unik masing-masing.

Dalam konteks pendidikan matematika, pembelajaran berdiferensiasi sangat penting. Sebab, matematika kerap dianggap pelajaran yang membosankan dan sulit dimengerti. Padahal matematika sangat penting: bertujuan mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa dalam menyelesaikan masalah di kehidupan sehari-hari. Pembelajaran berdiferensiasi ini memiliki empat poin penting dalam penerapannya: pertama, diferensiasi konten. Guru menyediakan bahan ajar dalam berbagai format, seperti video interaktif, infografis, modul interaktif, hingga diskusi kelompok. Dari berbagai format itu siswa dapat memilihnya sesuai minat.

Kedua, diferensiasi proses. Proses penyampaian materi atau pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Misalnya, siswa yang suka pada hal-hal visual dapat belajar melalui diagram dan grafik. Kemudian, siswa kinestetik dapat melakukan eksperimen dengan alat bantu manipulatif. Sementara siswa yang suka pada audio dapat mendengarkan penjelasan melalui podcast atau diskusi lisan.

Ketiga, diferensiasi produk. Dalam hal ini, siswa diberikan kebebasan memilih tugas akhir sesuai minatnya. Misal dalam materi trigonometri, siswa dapat memilih untuk: membuat poster visual tentang aplikasi trigonometri; siswa membuat model 3D segitiga menggunakan bahan sederhana; siswa membuat video kreatif tentang peran trigonometri dalam kehidupan sehari-hari.

Keempat, diferensiasi lingkungan. Kondisi lingkungan yang kondusif juga berperan dalam meningkatkan kualitas belajar siswa. Maka dalam hal ini, guru harus menciptakan suasana belajar yang fleksibel dan kondusif. Misalnya, menyediakan ruang belajar kelompok untuk siswa interpersonal dan sudut belajar individu untuk siswa intrapersonal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun