Mohon tunggu...
Gia
Gia Mohon Tunggu... Freelancer - -

-

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Simak 3 Penerapan Jurnalisme Multimedia Kompas.id untuk Bertahan di Era Digital

19 April 2020   13:14 Diperbarui: 22 April 2020   06:55 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jurnalis 3M. Sumber: Freepik.com.

Jurnalisme multimedia Kompas.id di era digital tidak hanya menuntut wartawan Kompas saja untuk menyesuaikan diri. Pembaca juga perlu beradaptasi dengan adanya penerapan konsep digital ini yang mengubah cara mereka mengakses artikel dan pemberitaan.

Penerapan jurnalisme multimedia Kompas.id ini tentu  bertujuan untuk menunjang Kompas, tertutama Harian Kompas, untuk terus bertahan di ranah jurnalisme yang kian modern. Namun, sebelum nenilik lebih jauh perihal penerapan jurnalisme multimedia dalam Kompas.id, ada baiknya kita mengenal Kompas.id terlebih dahulu.

Menurut Haryo Damardono, Deputy Managing Editor di Harian Kompas dalam Kuliah Daring Jurnalisme Multimedia di Kompas.id, Kompas.id merupakan versi digital dari Harian Kompas. Kompas.id tentu berbeda dengan Kompas.com. 

Tulisan di Kompas.id dikerjakan oleh wartawan Harian Kompas. Sedangkan tulisan dan berbagai unggahan Kompas.com diolah oleh tim yang berbeda.

Haryo mengatakan bahwa Kompas.id yang telah dirintis diam-diam sejak 2017 ini meniru model bisnis dari New York Times, sebuah media besar di Amerika Serikat. Menurutnya, New York Times sukses menarik subscribers (pelanggan) untuk tetap membaca sekaligus berlangganan bersi digitalnya. 

Autokritik Haryo terhadap Kompas.id adalah jumlah sumber daya yang sedikit, jauh bila dibandingkan dengan New York Times. "Meski sumber daya tidak sebanyak itu (New York Times) memang. Tetapi, berita harus sebagus itu," ujarnya.

Laman Kompas.id. Sumber: Dok. Pribadi.
Laman Kompas.id. Sumber: Dok. Pribadi.

Dalam rangka menjadi serupa dengan New York Times dan bertahan di era digital, Kompas.id pun menerapkan jurnalisme multimedia. Mari kita simak 3 penerapan jurnalisme multimedia dalam Kompas.id:

1. Menerapkan Konsep 3M (Multimedia, Multichannel, dan Multiplatform)

Haryo mengatakan bahwa ketika Kompas mulai menyadari adanya internet, mereka juga meyakini bahwa 3M, yakni multimedia, multichannel, dan multiplatform harus dimiliki Kompas. Media mainstream jaman dulu memang belum menuntut konsep tersebut.

Namun, menurut Haryo, saat ini seluruh jurnalis di berbagai media, bukan hanya di Kompas saja dituntut untuk menguasai 3M. Konsep 3M seolah-olah 'menjelma' pada satu orang. 

Ilustrasi Jurnalis 3M. Sumber: Freepik.com.
Ilustrasi Jurnalis 3M. Sumber: Freepik.com.

Jurnalis Kompas.id yang juga merupakan jurnalis Harian Kompas harus mampu beradaptasi dengan adanya konsep ini.

"Ketika turun liputan ke lapangan, saya tidak hanya menulis, tetapi juga mengambil foto dan video tentang apa yang saya tulis," ujar Haryo. 

Haryo juga bercerita bahwa ia juga kerap menyiapkan tulisan yang akan dikembangkan dalam bentuk grafis. 3M harus ada pada diri setiap jurnalis supaya tercipta berita yang mudah dan cepat diakses dari segala sisi oleh para pembaca.

Menurut Haryo, konsep 3M menuntut setiap bagian dari Harian Kompas, terutama jurnalis yang juga menulis untuk Kompas.id harus memiliki perubahan pola pikir, dari cetak ke digital. "Memang tidak mudah untuk beralih ke digital. Saya pun merupakan bagian dari orang yang menegosiasikan ke teman-teman tentang hal itu," ujarnya.

2. Mengoptimalkan Pemasukan dari Pelanggan

 Menurut Haryo, Kompas.id memilih mempertahankan jurnalisme Kompas dibandingkan terlalu bermain dengan bisnis. Artinya, pendapatan dari iklan tetap ada, tetapi Kompas.id tidak menggunakan clickbait untuk meraup keuntungan dari iklan. 

"Ibaratnya sekarang subscribers Kompas.id itu membayar untuk membaca artikel," kata Haryo. Menurut Haryo, hal ini justru juga akan memperkuat Kompas.id untuk mempertahankan prinsip jurnalismenya karena pelanggan ingin membaca tulisan yang berkualitas. 

Ketika ingin mendapatkan berita yang validitasnya masih dapat dipertanggungjawabkan, pembaca harus mampu membayar. Semua ini memang tidak mudah, tetapi mau tidak mau di tengah perkembangan teknologi, kita dituntut untuk saling bersinergi. 

"Jika ingin jurnalis membuat tulisan yang berkualitas, pembaca harus mau mendukung dengan membayar biaya berlangganan," ujarnya.

Meski dengan harga langganan yang terbilang cukup murah, yakni Rp50.000,- per bulan, pelanggan sudah dapat mengakses seluruh tulisan di Kompas.id dengan kredibilitas tinggi karena prinsip jurnalisme tadi.

Biaya Berlangganan Kompas.id. Sumber: Dok. Pribadi.
Biaya Berlangganan Kompas.id. Sumber: Dok. Pribadi.

Dalam hal ini, terlihat jelas bahwa kita sebagai pembaca juga dituntut untuk beradaptasi dengan adanya jurnalisme multimedia. Tidak hanya jurnalis yang harus menguasai penggunaan teknologi digital.

Pembaca yang dulu berlangganan Harian Kompas, diantarkan surat kabar setiap hari, perlahan beralih berlanggananan Kompas.id yang dapat mereka akses dari gawai yang mereka miliki. Ini merupakan peralihan dari cetak ke digital yang tidak bisa dipungkiri.

"Pembaca Kompas.id biasanya anak muda usia 24-34 tahun yang membutuhkan berita yang sifatnya cenderung serius," ujar Haryo.

Johan Tobias, mahasiswa Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta juga mengungkapkan bahwa pembaca Kompas.id adalah mereka yang mungkin berusia di atas 23 tahun. "Kompas.id kalau saya lihat kan beritanya berasal dari korannya. Jadi, biasanya mereka butuh informasi yang cukup banyak. Ya, pembacanya kalau di usia 21 atau 22 belum lah, minimal mereka yang udah kerja, bisnis," ujarnya.

Ilustrasi mengakses informasi via gawai. Sumber: Freepik.com
Ilustrasi mengakses informasi via gawai. Sumber: Freepik.com

3. Tetap Mempertahankan Kualitas Tulisan Meski Versi Digital Daring

Haryo mengatakan bahwa Kompas.id memang banyak belajar dari New York Times terutama kualitas tulisan dan cara mendapatkan pelanggan. Hal ini sudah disepakati oleh tim Kompas. 

Tampilan Laman New York Times. Sumber: Dok. Pribadi.
Tampilan Laman New York Times. Sumber: Dok. Pribadi.

"New York Times memiliki sekitar 1.600 wartawan, Kompas tetap ingin seperti itu dengan jumlah wartawan yang hanya sekitar 250," ujarnya. Jurnalis Kompas.id tidak dituntut untuk membuat sepuluh berita sehari seperti jurnalis media online. 

"Wartawan itu harus tetap punya waktu untuk nonton film dan bergaul dengan banyak orang," kata Haryo.

Artinya, jurnalis Kompas.id memiliki banyak waktu untuk mendapatkan data dari banyak orang untuk menambah kualitas tulisannya. Dengan jumlah jurnalis yang tidak sebanyak New York Times, Kompas.id juga berupaya mencerdaskan para pembacanya dengan menyuguhkan tulisan yang kualitasnya seperti sang model bisnis.

Bila kita lihat bersama, meski platform-nya berbeda dengan Harian Kompas, Kompas.id tetap memiliki kualitas tulisan yang sama dengan Harian Kompas. Bahkan, ada beberapa artikel yang justru mendapat space lebih banyak di Kompas.id ketimbang Harian Kompas. 

Hal inilah yang membuat artikel Kompas.id lebih kaya sumber dan beritanya lebih mendalam. "Kalau di Koran Kompas nggak ada foto, di Kompas.id justru ada," ungkap Haryo.

Salah satu tulisan di Kompas.id. Sumber: Dok. Pribadi.
Salah satu tulisan di Kompas.id. Sumber: Dok. Pribadi.

Menurutnya, jurnalis yang menulis di Harian Kompas dengan panjang berita hanya 6 alinea bisa saja menulis lebih panjang di Kompas.id.

Haryo juga menceritakan bagaimana dahulu jurnalis Harian Kompas menggunakan mesin ketik untuk menulis berita. Harian Kompas yang dahulu sangat diminati meski dengan perjuangan berat dan panjang dari jurnalis, kini harus mampu beradaptasi dengan majunya teknologi. 

Saat ini, jurnalis Harian Kompas mengirim berita menggunakan smartphone. Meski demikian, Haryo berpandangan bahwa jurnalis Harian Kompas masih memiliki kebiasaan yang tidak berubah dalam rangka mempertahankan kualitas. 

Kebiasaan itu antara lain, mencari beberapa narasumber, tidak mencari sensasi tetapi solusi, dan menulis dengan mengendapkan materi terlebih dahulu. Komitmen mempertahankan kualitas tulisan ini juga menjadi modal Kompas.id dalam bertahan di era digital.

Setelah mengenal 3 penerapan jurnalisme multimedia Kompas.id, kini kita mengetahui bahwa tidak mudah bagi sebuah media untuk bertahan di era digital. Melalui proses adaptasi yang panjang dan berbagai perubahan di dalam sistem kerja, media dituntut untuk selalu mempertahankan kualitas pemberitaannya melalui penerapan jurnalisme multimedia yang sesuai dengan perkembangan teknologi digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun