“Sains tanpa agama buta, dan agama tanpa sains pincang.” Albert Enstein.
Carut marut pembahasan tentang pertikaian antara agama dan sains dapat dikatakan sebagai hal yang klasik. Penolakan Aristoteles terhadap pandangan geosentris injil dikala itu telah meramaikan catatan sejarah peradaban ilmu pengetahuan. Akibat penolakan itu, Aristoteles dan pengikutnya harus rela dikucilkan oleh Gereja.
Catatan lain dalam sejarah pertikaian antara agama dan sains terlihat pada kisah masyhur perihal inkuisisi Galileo Galilei, yang menegaskan hukum Heliosentrisnya.
Dikutip dari laman kompas.com (13/02/2018) menuliskan pernyataan Gaileleo tentang masa modern. Ketika bumi sedang berputar mengelilingi matahari adalah sebuah fakta yang dipercayai hampir semua orang.
Namun, di abad pertengahan, memercayai bumi mengitari matahari bisa mengundang masalah karena bertentangan dengan doktrin agama. Akibat dari pernyataanya tersebut, pada tanggal 13 Februari 1633 Galileo Galilei dijatuhi hukuman karena pemikiranya yang bidah.
Namun tak dapat dipungkiri pula, bahwa beberapa ilmuwan juga berevolusi menjadi sosok religius. Salah satu yang dapat kita sebut adalah pakar Fisika, Albert Einstein.
Einstein menyebutkan bahwa orang yang serius mengejar ilmu pengetahuan akan mempercayai bahwa beberapa "roh" terwujud dalam hukum alam yang jauh lebih unggul dari manusia.
Dengan begitu, pengejaran ilmu pengetahuan mengarah pada perasaan religius atau spiritualitas yang istimewa. Perasaan religius Enstein berbeda dengan religiusitas kebanyakan orang.
Secara eksplisit, Einstein memberikan isyarat bahwa ia penganut panteisme, yang mempunyai gagasan utama "Tuhan adalah segalanya".
Pernyataan tersebut ia tuliskan ketika memberikan balasan surat kepada sorang gadis sekolah dasar bernama Phyllis yang menanyakan bagaimana ilmuwan mempercayai agama dan sains dalam satu waktu.
Senada dengan Enstein, Sir Issac Newton juga mendukung keberadaan Tuhan di balik kesempurnaan alam. Ia mengatakan bahwa, tidak mungkin alam ini bisa terwujud dari sebuah hal yang acak. Lantas bagaimana perihal perbedaan sikap terhadap sains dan agama?
Pada dasarnya, sifat dari sains dan agama adalah sama, yaitu berusaha menemukan dan memahami realitas yang ada dan mencoba mencari sebuah kebenaran. Meskipun pada hakikatnya karakter dan objek yang diperdalam berbeda, demikian ungkap Guiderdoni seorang cendikiawan Perancis yang terkenal sebagai juru bahasa terkemuka Islam.
Dalam ungkapanya ia memberikan paparan bahwa, sains menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama menjawab pertanyaan “mengapa”.
Sains berurusan dengan fakta, sedangkan agama berurusan dengan nilai atau makna. Sains mendekati realitas secara analisis, sedangkan agama secara sintesis.
Sains merupakan upaya manusia untuk memahami alam semesta yang kemudian akan mempengaruhi cara hidup kita, tetapi tidak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik.
Sedangkan agama adalah pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal Tuhan dan mempersiapkan manusia untuk menghadap Tuhan.
Sebagian dari kita mungkin tidak menyadari bahwa Ilmu pengetahuan yang kita pelajari seringkali bertolak belakang dengan agama maupun keyakinan kita selama ini. A
lhasil sebagian dari kita mungkin terpengaruh doktrin keyakinan yang melekat sejak kecil sehingga mendasari pengambilan keputusan perihal segala sesuatu yang kita lakukan.
Keseimbangan antara pemahaman sain dan agama dirasa penting untuk terus ditindak lanjuti. Terkadang pengambilan keputusan yang condong seperti ini tentunya tidak baik, apalagi jika keputusan yang diambil mempengaruhi orang-orang yang memiliki latar belakang keyakinan berbeda.
Bukankah tampak lebih etis bila pengambilan keputusan sebaiknya tidak didasarkan begitu saja pada keyakinan, tapi akan lebih baik jika dilakukan berdasarkan riset atau observasi dari data-data yang tersedia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H