Kehidupan normal merupakan ekosistem yang sangat dibutuhkan oleh setiap makhluk. Tentu kenormalan harus jauh dari rasa khawatir di setiap waktunya.Â
Meski pada dasarnya kekhawatiran juga termasuk dalam variabel kehidupan normal, namun akan menjadi tidak normal apabila kekhawatiran terus menerus mengiringi setiap langkah kehidupan.Â
Mungkin hal itu dapat menggambarkan keadaan saat ini, dimana transisi dalam kebijakan new normal masih diiringi oleh kekhawatiran bagi sebagian orang karena peningkatan pemaparan wabah.
Kebijakan new normal sendiri dijelaskan oleh Presiden Joko Widodo sebagai aktivitas kehidupan normal seperti biasanya namun tetap mematuhi protokol kesehatan.Â
Langkah kebijakan ini diambil oleh pemerintah dengan alasan pertimbangan sosial-ekonomi agar tetap berjalan. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat masih banyak yang belum memahami secara seksama dan terkesan ikut-ikutan untuk menjalankan kehidupan sesuai kebijakan new normal.
Sebagian masyarakat lain memandang bahwa kebijakan new normal terkesan ambigu dan bersifat paradoks. Hal ini salah satunya didukung oleh pelonggaran PSBB yang belum lama diterapkan di beberapa daerah. Meski banyak mendapatkan kritik, kebijakan PSBB belum sepenuhnya dievaluasi lebih lanjut akan dampak positifnya pada penyebaran pandemi.
Mengutip argument Bupati Gorontalo beberapa waktu lalu usai mengikuti Rapat Forkopimda Provinsi Gorontalo melalui Video Converence, bahwa penerapan PSBB di Provinsi Gorontalo membawa dampak positif pada berbagai hal, salah satunya penurunan kasus Covid-19. Jumlah pelaku yang terpapar wabah di daerah tersebut tidak lagi mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa hari terakhir.
Belum puas dengan dampak yang diberikan oleh PSBB publik tiba-tiba dikejutkan dengan pemberlakuan kebijakan new normal. Wajar bila banyak publik merasa terkejut, mereka menilai seakan-akan ikhtiar pemutusan rantai wabah yang sejauh ini dilakukan masyarakat terbilang sia-sia.
Bahkan banyak dari mereka yang berpendapat bahwa Indonesia terlalu tergesa-gesa untuk berdamai dengan Corona. Hal ini tidak lain dipicu oleh peningkatan segnifikan penyebaran wabah yang terjadi di masa transisi new normal.
Keterkejutan publik dalam paradoks yang dihadirkan oleh kebijakan new normal di masa transisi ini mungkin bisa diredam dengan perwujudan aksi humanisme yang lebih.Â
Humanisme merupakan istilah yang sering digunakan sebagai suatu kata yang mengungkapkan tentang berbagai hal yang berhubungan dengan manusia. Dikatakan demikian karena perhatian terhadap sisi humanisme bisa menjadi salah satu indikator pendukung kelancaran pemahaman di masa transisi ini.
Dilansir dari laman kompas yang ditulis oleh Achmad Nasrudin Yahya pada tanggal 7 Juni 2020, dilaporkan bahwa TNI dan POLRI telah menjanjikan sisi humanisme yang lebih ketika berinteraksi dalam mengawal publik di masa transisi ini.Â
Sinergitas humanisme ditempuh oleh TNI, POLRI, dan masyarakat di lapangan, diharapkan agar ke depannya bersama-bersama dapat menciptakan suasana yang baik dan aman meski harus mematuhi protokoler kesehatan yang berlaku. Hal ini tidak lain juga mendukung program pemerintah dalam penerapan kebijakan new normal agar tidak lagi terkesan ambigu di mata masyarakat.
Interaksi humanis terapan TNI dan POLRI tersebut diharapkan agar masyarakat dapat lebih memahami akan kebijakan dan dapat beradaptasi dengan displin protokoler di masa transisi ini.Â
Pemahaman lebih lanjut dan pendisiplinan pada masyarakat difungsikan agar menepis penilian kepada masyarakat yang terkesan hanya ikut-ikutan saja dalam penerapan new normal.Â
Di lain sisi semoga pemerintah juga dapat lebih baik dalam meberikan kebijakan perihal faktor pendukung kelancaran kehidupan di masa pendemi ini agar tidak terjadi blunder akan ambiguitas dari pemahaman kebijakan selanjutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H