Didalam sebuah Proses pembangunan terdapat beberapa hal, dan merupakan salah satu unsur yang berperan penting dalam upaya kemajuan pertumbuhan suatu daerah. Namun dalam pelaksanannya, pembangunan membutuhkan biaya akomodasi yang cukup besar. Pembiayaan ini diperlukan sejak proses perencanaan, pelaksanaan, hingga pemeliharaan. Sedangkan dana yang dikelola oleh tiap daerah berupa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta Pendapatan Asli Daerah (PAD) memiliki jumlah yang terbatas. Akibatnya, tidak semua daerah dapat melakukan pembangunan secara signifikan dikarenakan oleh keterbatasan dana yang dimiliki.
Oleh karena itu Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan pinjaman dan obligasi daerah. Obligasi merupakan istilah dalam pasar modal yang berarti surat pernyataan hutang penerbit obligasi terhadap pemegang obligasi. Dengan metode obligasi, pemerintahan daerah akan mampu memperoleh dana secara langsung yang dapat di gunakan untuk pembiayaan pembangunan yang akan dijalankan. Sementara itu, pihak masyarakat dapat menjadikan kebijakan ini sebagai sarana investasi sekaligus membantu meringankan beban pembangunan daerah.
Dampak positif penerbitan obligasi yang menjadi alternatif pembiayaan pembangunan telah terbukti dapat dilihat melalui keberhasilan berbagai proyek di beberapa negara maju. Salah satu contohnya sebut saja penerbitan obligasi resmi di New York yang ditujukan untuk pembiayaan proyek Terusan Erie senilai 7 juta dolar.
Dengan begitu dalam pemenuhan kebutuhan dana yang dibutuhkan akan dapat tercapai dengan lebih cepat melalui kebijakan obligasi yang ditawarkan kepada masyarakat luas, khususnya bagi daerah yang ingin mengembangkan potensi yang dimilkinya. Dapat dilihat dari hasil pembangunan Terusan Erie terbukti mampu meningkatkan akses keluar masuk New York hingga disebut sebagai pusat keuangan di Amerika Serikat saat ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemandirian suatu daerah untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki dan meingkatkan pertumbuhan ekonominya sendiri memiliki peran yang cukup penting. Hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dan pengaruh pemerintahan pusat untuk menyediakan daya dukung pembangunan daerah. Dengan adanya alternatif sumber pembiayaan pembangunan seperti ini diharapkan pula dapat menjadi rangsangan terhadap upaya pembangunan pada tiap daerah agar terjadi pemerataan pembangunan di seluruh daerah.
Namun jika ditinjau melalui realita yang terjadi di Indonesia, ditemukan berbagai hambatan dalam upaya implementasi penerbitan obligasi daerah terkait. Sebagian besar masalah yang timbul disebabkan oleh kurangnya pemahaman perangkat pemerintahan daerah maupun masyarakat terhadap kebijakan obligasi yang ditawarkan. Dimana hal tersebut seharusnya menjadi aspek fundamental yang paling utama untuk mendasari implementasi obligasi daerah yang dijalankan oleh pemerintah.
Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berpendapat bahwa penerbitan obligasi daerah bergantung pada kesiapan pemerintah daerah itu sendiri. Sementara OJK hanya berperan sebagai fasilitator dan pengawas regulasi yang dijalankan.
Indonesia sendiri sebenarnya telah sejak lama memunculkan wacana penerbitan kebijakan obligasi daerah. Pembentukan dasar hukum juga telah dilakukan melalui berbagai lembaga dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu contoh regulasi yang diberlakukan adalah PMK Nomor 147/PMK.07/2006 tentang tatacara penerbitan, pertanggungjawaban, dan publikasi informasi obligasi daerah.
Namun nyatanya, masih banyak kalangan masyarakat termasuk jajaran perangkat pemerintahan yang belum bisa memahami secara utuh tentang prosedur pelaksanaan obligasi daerah tersebut. Hanya beberapa wilayah tertentu saja yang memiliki keingingan dan potensi besar untuk menerapkan penggunaan kebijakan obligasi daerah, seperti Jawa Tengah, Jawaa Barat, dan DKI Jakarta.
Namun didalam pelaksanaanya di lapangan, optimalisasi pelaksanaan obligasi daerah juga dinilai masih kurang dari target sasaran yang telah ditetapkan. Budi Frensidy, pengamat pasar modal Universitas Indonesia memaparkan bahwa belum ditemukan kebutuhan mendesak yang mampu menjadi pendorong utama dan alasan kuat bagi suatu daerah untuk menerbitkan obligasi. Hal ini didasari oleh data yang menyebutkan bahwa masih cukup banyak daerah yang belum mampu mengoptimalkan penggunaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya. Belum lagi dana alokasi yang diberikan oleh pemerintah pusat seringkali masih berlebih dan tidak dimanfaatkan sesuai prosedur yang berlaku.
Kontrol keuangan yang berlangsung di tingkat daerah dan melibatkan banyak pihak memang memiliki berbagai tantangan dan hambatan tersendiri. Diperlukan kerjasama dan ketegasan lembaga terkait untuk mengawal jalannya kebijakan agar sesuai dengan pedoman dan prosedur yang berlaku. Kurangnya kemampuan daerah dalam mengatur alokasi anggaran dan mengelola modal untuk pembangunan daerah tentu akan menimbulkan resiko yang jauh lebih besar bila diberikan kewenangan untuk menerbitkan obligasi daerah. Bahkan negara-negara maju yang telah lama menerapkan kebijakan obligasi juga masih sering mengalami kerugian dan kegagalan dalam proses perwujudannya. Sebagian besar mengalami kegagalan untuk melunasi surat hutang dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Kemungkinan buruk seperti ditakutkan akan mendapat presentase yang jauh lebih besar jika dilaksanakan dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia.