Mohon tunggu...
Ghozi Daffa
Ghozi Daffa Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa

Ilmu Komunikasi UMY

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Tokoh Agama atau Tokoh Iklan?

18 April 2020   14:58 Diperbarui: 18 April 2020   15:02 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Televisi adalah sebuah media telekomunikasi yang dikenal sebagai penerima siaran gambar bergerak beserta suara, baik itu yang monokrom (hitam putih) maupun warna. Televisi merupakan media paling berpengaruh dalam kehidupan manusia. Hal ini disebabkan oleh pesatnya perkembangan televisi yang menjangkau masyarakat hingga ke wilayah terpencil. Unsur esensial dari televisi berupa penggunaan bahasa verbal dan visual, sekaligus dalam rangka menyampaikan sesuatu seperti pesan, informasi, pelajaran, ilmu, dan hiburan.

Sajian dalam bahasa audio visual lebih mudah diingat daripada yang ditulis dan dibaca.  Televisi mulai ada di Indonesia sekitar tahun 1962, ketika Presiden Sukarno memberikan instruksi kepada Direktorat Perfileman Negara dan Direktur Teknik Jawatan Radio untuk mendukung penyelenggaraan Asian Games IV di Jakarta (Kasali, 2007 : 114)

Iklan televisi adalah serangkaian tayangan televisi yang dibuat dan dibayar oleh sebuah badan usaha untuk menyampaikan pesan, biasanya bertujuan untuk memasarkan produk. Meskipun biaya untuk membuat, memproduksi, dan menayangkan iklan TV sangat mengejutkan, televisi adalah salah satu media yang paling hemat biaya dan memperhitungkan dampak dari TV dibandingkan dengan iklan radio atau iklan majalah, menjadi jelas bahwa tidak ada media lain yang memungkinkan kita melakukan perombakan dan mempengaruhi begitu banyak orang dengan  biaya yang sangat kecil per orang (Vilanilam, 2004 : 118)

Iklan televisi sangat menarik karena ditampilkan dengan  kombinasi media audio, lisan dan efek visual.  Televisi disaksikan oleh orang banyak sehingga memberikan celah peluang munculnya fungsi televisi sebagai media periklanan.  Mudahnya beriklan melalui televisi karena mayoritas masyarakat di Indonesia telah memilikinya sehingga penyampaian pesan akan menjadi luas dan komunikasi semakin efektif.

Dalam dunia periklanan, etika periklanan seringkali dilanggar. Etika periklanan adalah ukuran kewajaran nilai dan kejujuran didalam sebuah iklan.  Menurut EPI (Etika Pariwara Indonesia), etika periklanan adalah ketentuan-ketentuan normatif yang menyangkut profesi dan usaha periklanan yang telah disepakati untuk dihornati, ditaati, dan ditegakkan oleh semua asosiasi dan lembaga pengembangannya.

EPI diperlakukan sebagai sistem nilai dan pedoman terpadu tata krama dan tata cara yang berlaku bagi seluruh pelaku periklanan Indonesia. EPI tidak bertentangangan dengan undang-undang dan peraturan perundangan. Jika untuk sesuatu hal ditemui penafsiran ganda, maka makna undang-undang dan peraturan perundangan yang dianggap sahih. Begitu pula jika tidak terjadi kesesuaian, maka ketentuan yang terkait yang termaktub dalam EPI ini dianggap batal dengan sendirinya.

Iklan Kokola yang diproduksi oleh Kokola Group (PT. Mega Global Food Indusrty), salah satu perusahaan spesialis biskuit dan wafer berinisiatif menampilkan iklan yang menggunakan pemeran utama Dedeh Rosidah alias Mama Dedeh sebagai ikon kehalalan produk mereka. Mama Dedeh sudah tidak asing di telinga kita karena ia merupakan tokoh agama yang sekaligus menjadi pengisi acara "Mamah dan Aa Beraksi" di stasiun televisi Indosiar, namanya mulai terangkat saat menjadi acara tersebut. Indonesia diyakini memiliki potensi pasar yang menggiurkan, tak terkecuali Biskuit Kokola. Dimana mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, dengan mengusung senjata makanan "halal", Biskuit Kokola bertekad mendobrak pasar yang lebih luas lagi.

Iklan dibuka dengan munculnya ustadzah Mamah Dedeh yang memegang Biskuit Kokola dengan suara "halal" yang mengiringi dan memberikan anjuran agar calon konsumen memilih Biskuit Kokola dan juga pengulangan kata "halal" untuk menegaskan kehalalan produk.

Dalam industri periklanan, semua pengiklan barang atau jasa berlomba-lomba untuk menciptakan sebuah iklan yang kreatif dan menarik demi meningkatkan penjualan. Tingkat persaingan dalam menciptakan karya sebuah iklan semakin ketat sehingga memicu para kreator untuk membuat ide baru. Salah satunya dengan daya tarik agamis dalam merangkul konsumen, hingga banyak yang menggunakan simbol dan tokoh agama. Jika tokoh agama menjadi bintang iklan komersial, maka semakin memperkuat justifikasi terhadap komodifikasi agama, karena ustad atau ustadzah membiarkan dirinya dijerat oleh kekuatan materi.

Etika Pariwara Indonesia menjelaskan dalam Bab III.A No.3 pasal 3.5 yaitu "Tokoh agama tidak boleh menjadi pemeran iklan komersial, maupun iklan layanan masyarakat dari sesuatu korporasi." Tokoh agama yang dimaksud adalah sosok atau tokoh yang diakui oleh masyarakat sebagai guru agama, uztad, kiai, pastur, pendeta, pemimpin pondok pesantren, ulama atau yang memiliki hubungan langsung dengan otoritas keagamaan.

Fenomena komodifikasi tokoh agamapun mencuat dan menjadi booming. Komodifikasi merupakan proses menjual apa yang sekiranya bisa dijual, bukan apa yang seharusnya dijual. Sebab iklan dengan kemampuan persuasifnya yang tinggi sangat ampuh menciptakan komodifikasi agama hingga akhirnya mempengaruhi opini masyarakat. Apalagi jika tokoh agama yang sering muncul di televisi yang menjadi panutan ikut memberikan andil dalam mempersuasikan produk komersil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun