Mohon tunggu...
Bocah Pengembara
Bocah Pengembara Mohon Tunggu... -

bocah kecil yang merengek dalam kesunyian, menapaki kefanaan tanpa jubah yang menghangatkan. dengan tertatih menapak langkah, meninggalkan kemarin sebagai pelajaran. merajut asa menjadi do'a untuk melanjut tapak menuju esok. ada harapan yang menyapa dengan binar cahaya, karena kenyataan adalah kini. dan aku si bocah yang mengembara dalam sunyi. salam!!!

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bintang Mengajarkan 'Kerendahan Hati'

13 September 2011   14:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:59 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

perjalanan langkah hingga pada sekarang ini, menjadi sosok yang alam kasih gelar 'dewasa'. meskipun pencarianku tentang itu masih belum tuntas tentang pemaknaannya, tapi itu lah otoritas semesta tentang gelas 'dewasa'. sejak aku masih suka berlarian untuk bermain kala purnama, hingga jejak-jejak tinta yang melanjutkan dalam ceritanya tentang malam. purnama, yach wujud kesempurnaan cahaya bulan. dulu aku begitu mengaguminya, hebat. setelah tirakat (istilah orang jawa dalam meditasi saat punya hajat) panjang, dengan tertatih-tatih merangkak pelan dari sabit sampai puncak purnama. indah memang rembulan kala purnama itu, dulu semasa kecil aku menganggapnya. namun setelah perjalanan langkah ini menyusuri cerita malam yang panjang dan terus berulang, asumsiku tentang keindahan purnama itu memudar. selayaknya sosok idealis sungguhan, kadang aku berfikir dalam diam ku menatap rembulan dengan senyum purnamanya. diam-diam akalku menerka sesuatu yang logika fikirku justru menganggap itu tidak pantas dikatakan indah. yach...keangkuhan!!!pancaran purnama rembulan serasa begitu angkuh diantara dinding langit. sombong dengan wujud sempurnanya, yakni purnama. aku teringat jelas pesan ibu, "tak perlu kau bersikap angkuh nak, apalagi sombong pada sekitarmu". kata itu lah yang terucap dari bibir seorang ibu dalam dekapan lembutnya membelai rambut. dari sana lah, aku mulai berfikir dan beranggapan bahwa purnama rembulan hanya wujud keangkuhan dan sombongnya pada sekitar. dan saat fikiran itu muncul aku tak lagi tertarik pada purnama. karena aku tak ingin ada kesombongan dalam diriku, ada sikap angkuh diantara laku ku. keinginanku yang terbangun semenjak pesan seorang ibu, untuk menata kembali niatan langkahku menyusuri jejak-jejak kehidupan. membangun tekad menanamkan pribadi yang redup diantara kebisingan kisah hidup, namun berguna dan mampu menggandeng sesama dalam ikatan saudara. selayaknya bintang yang berbinar redup diantara langit pekatnya malam, bertahan diantara keangkuhan purnama dengan teman sejawatnya. tidak seperti bulan yang bersinar begitu terang kala purnama, justru terlihat angkuh diantara bintang-bintang. dan satu lagi, bulan selalu sendiri tanpa kehadiran bintang. aku tak menginginkan seperti demikian. selayaknya dalam kenyataan cerita hidup, bintang mengajarkan tentang makna rendah hati, dengan binar cahaya redupnya, ia justru memiliki banyak teman yang senantiasa menjaga kekompakan dalam kesatuan cerita malam. karena bintang tak seangkuh cahaya bulan kala purnama, karena bintang tak sesombong terik mentari, maka bintang lebih banyak memiliki sahabat. walau demikian bintang tetap arif menjaga sikapnya terhadap bulan, bahkan rela menemaninya lewati malam hingga saat fajar menyapa. dan diantara sudut peraduan hidup, diantara pojokan kisah rindu, bintang berpesta riang. saling sapa satu sama lain dengan gumam aksara kerinduan. tidak selayaknya bintang, pada saat bulan dengan angkuh mewujudkan dirinya dalam kesempurnaan purnama, bulan tetaplah ia yang sendiri tanpa bulan lain, tanpa memiliki objek kerinduan. tetaplah ia yang sesekali menganga sakit saat tersayat gerhana. begitu juga si raja siang, ia memang kuat, kuasa, bahkan tak jarang begitu sombong dengan teriknya. namun ia tetaplah mentari tanpa mentari lain, yang juga sesekali menganga tersayat gerhana. tetaplah ia yang selalu malu-malu dibalik bukit saat fajar, sekedar mengintip kemunafikan yang berderet sebagai lembaran kisah kehidupan. lalu menyombongakan diri lewat teriknya. dan bintang, ia tidaklah seperti keduanya. dalam redup binarnya, bintang begitu ramah pada malam. selalu berbagi dan mengeja kehidupan berlahan dalam kepastian, tentang keindahan berteman, tentang keindahan dalam redup sederhana, tentang kehidupan dengan mengenal makna berbagi. karena bintang tak seangkuh bulan dalam kesempurnaan purnama. karena bintang tak sesombong mentari kala terik. namun bintanglah yang mengajarkan kerinduan pada cerita kisah. tentang arti kebersamaan serta bahagianya tak sendiri. biarpun cerita malam, tetap tentang gelap, biarpun malam tetaplah ia yang kuasa atas bintang. tapi bintang tetap ia yang memiliki objek kerinduan untuk kembali berbinar bersama bintang sejawatnya. karena itu aku ingin seperti bintang, yang redup mengayomi orang-orang terkasih, yang rendah hati dalam kebersamaan kisah hidup, yang sederhana dalam menjalani ceritaku memanfaatkan nyawa. "belajarlah pada bintang, tentang rendah hati dan kesederhanaan sebagai bangunan awal mewujudkan kebersamaan yang sederhana dalam bingkai kerendahan hati. karena dari sana akan ada kerinduan yang tereja dalam cerita kehidupan"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun