Mohon tunggu...
Ghofur Efendi
Ghofur Efendi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Risywah (Suap) dalam Pandangan Islam

11 Maret 2018   19:45 Diperbarui: 11 Maret 2018   19:52 1316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pengertian Risywah/Suap
Dalam Islam kata Risywah menurut bahasa dalam kamus al-Mishbahul Munir dan Kitab Muhalla Ibnu Hazm yaitu "Pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya". Atau pengertian lain   Risywah menurut Kitab Lisanul 'Arab dan Mu'jamu Washith yaitu "Pemberian yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu".

Maka berdasarkan definisi tersebut, suatu yang dinamakan risywah adalah jika mengandung unsur pemberian atau athiyah, ada niat untuk menarik simpati orang lain atau istimalah, serta bertujuan untuk membatalkan yang benar (ibtholul haq), merialisasikan kebathilan ( Ihqoqul bathil ), mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan ( al- mahsubiyah bighoiri haq ), mendapat kepentingan yang bukan menjadi haknya ( al hushul 'alal manafi' ) dan memenangkan perkaranya atau al hukmu lahu.

Risywah/Suap Menurut Islam

1. Risywah yang diharamkan
Dalam hukum Islam, berdasarkan beberapa nash   Al Qur'an dan Sabda Rasulullah mengisyaratkan dan menegaskan bahwa Risywah adalah suatu yang diharamkan di dalam syari'at, bahkan termasuk dosa besar. Ada beberapa dalil yang mendasarinya yaitu :

Firman Allah surah al-Baqarah ayat 188
Artinya : "Dan janganlah kamu memakan harta sebagian dari kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.

Firman Allah Surah Al-Maedah ayat 42
Artinya  :    "Mereka  itu  adalah  orang-orang  yang  suka  mendengar  berita bohong, banyak memakan yang haram".
Imam   Al-Hasan   dan   Said   bin   Jubair   mengomentari   ayat   ini   dengan mengatakan bahwa maknanya adalah risywah, karena risywah identik dengan memakan harta yang diharamkan.

Dalam kitab   tafsir Al-Qurthubi, makna surah Al-Maedah ayat 42 menyebutkan, setiap daging yang tumbuh dari barang yang haram (Ashuht) nerakalah yang paling layak untuknya. Shahabat bertanya "Wahai Rasulullah, apa barang haram  yang di maksud itu ? Rasulullah menjawab "suap dalam perkara hukum."

Dari uraian ayat-ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa suap merupakan perkara yang diharamkan oleh Islam, baik memberi ataupun menerimanya sama-sama diharamkan di dalam syari'at.

2. Risywah yang dibolehkan
Pada dasarnya Risywah atau suap itu adalah hukumnya haram, tetapi dalam hal tertentu ada risywah/suap yang dibolehkan. Seperti mayoritas ulama memperbolehkan penyuapan yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan haknya, karena dia dalam kondisi yang benar dan mencegah kezholiman terhadap orang lain. Dalam hal  seperti ini, dosanya tetap ditanggung oleh orang yang menerima suap. Hal ini dapat dilihat lebih mendalam dalam kitab Kasful  Qina'  6/304,  Nihayatul  Muhtaj  8/243,  Al- Qurthubi 6/183, Al-Muhall 8/118, dalam bab-bab yang membahas tentang suap dan memakan harta haram.

Dalam permasalahan suap/risywah, Imam Abu Hanifah membaginya kedalam 4 hal yaitu :

  1. Memberikan sesuatu untuk mendapatkan pangkat dan kedudukan ataupun jabatan, maka hukumnya adalah haram bagi pemberi maupun penerima.
  2. Memberikan sesuatu kepada  hakim agar bisa memenangkan perkaranya, hukumnya adalah haram bagi penyuap dan yang disuap, walaupun keputusan tersebut adalah benar, karena hal itu sudah menjadi tugas seorang hakim dan kewajibannya.
  3. Memberikan sesuatu agar mendapat perlakuan yang sama dihadapan penguasa dengan tujuan mencegah kemudharatan dan meraih kemaslahatan, hukumnya haram bagi yang disuap saja.
  4. Memberikan sesuatu kepada seseorang yang tidak bertugas di Pengadilan atau instansi tertentu agar bisa menolongnya dalam mendapatkan haknya di Pengadilan  atau  pada  instansi  tersebut,  maka  halal  bagi  keduanya,  baik pemberi maupun penerima, karena hal itu sebagai upah atas tenaga dan potensi yang dikeluarkannya.

 

Tinjauan dari Isensi Risywah/Suap
Apabila dilihat dari segi isensi Risywah/Suap yaitu "Pemberian"dalam bahasa arab disebut "Athiyyah'. Dalam Islam ada beberapa istilah yang memiliki keserupaan "Risywah dengan Athiyyah" diantara hal-hal tersebut adalah :

  1. Hadiah, yaitu  pemberian yang diberikan kepada seseorang sebagai penghargaan atau "ala sabilil Ikram". Perbedaannya dengan risywah adalah Jika risywah diberikan dengan tujuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, sedangkan hadiah diberikan dengan tulus sebagai penghargaan dan rasa kasih sayang.
  2. Hibah, Yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tanpa mengharapkan imbalan dan tujuan tertentu. Perbedaannya dengan risywah adalah bahwa "Ar Rasyi" yaitu pemberian suap, memberikan sesuatu karena ada tujuan dan kepentingan tertentu, sedangkan "Al Waahib" atau pemberi hibah memberikan sesuatu tanpa tujuan dan kepentingan tertentu.
  3. Shadaqah, yaitu pemberian yang diberikan kepada seseorang karena mengharapkan keridhaan dan pahala dari Allah swt. Seperti halnya zakat, ataupun infaq. Perbedaannya dengan risywah adalah bahwa seseorang yang bersedekah, ia memberikan sesuatu hanya karena mengharapkan pahala dan keridhaan Allah semata tanpa unsur keduniawian yang dia harapkan dari pemberian tersebut, sedangkan risywah ada unsur kepentingan dan tujuan dibalik pemberian itu.

Lalu bagaimana jika pemberian hadiah atau hibah tersebut diberikan oleh seseorang kepada pejabat pemerintah atau penguasa ataupun hakim ?

Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari Abu Humaid As-Saidi yang masyhur dengan istilah hadits Ibnul Utbiyah yang pada pokoknya menyatakan Risywah hukumnya tetap  haram  walaupun  menggunakan istilah hadiah, hibah atau tanda terima kasih dan lain-lain. Oleh karena itu, setiap perolehan apa saja diluar gaji dan dana resmi atau legal yang terkait dengan  jabatan atau  pekerjaan  merupakan harta  "ghulul  atau  korupsi" yang hukumnya tidak halal meskipun itu atas nama "hadiah" atau "tanda terima kasih". Akan tetapi dalam konteks dan perspektif syari'at Islam hal seperti itu bukan merupakan 'hadiah', melainkan dikategorikan sebagai "risywah" atau "syibhu risywah" yaitu semi suap, atau juga   "risywah masturoh" yaitu suap terselubung dan sebagainya.

Para  ulama  berpendapat,  bahwa  segala  sesuatu  yang  dihasilkan dengan cara yang tidak halal seperti risywah, maka harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya diketahui, atau kepada ahli warisnya jika pemiliknya  sudah  meninggal  dunia.  Apabila  pemiliknya  tidak  diketahui, maka harus dikembalikan kepada baitul maal, atau dikembalikan kepada negara jika itu dari uang negara dalam hal ini adalah uang rakyat, atau digunakan untuk  kepentingan  umum.  Sebagaimana yang  dikatakan Ibnu Taimiyah terkait  dengan orang  yang  bertaubat  setelah mengambil harta orang  lain  secara  tidak  benar,  seperti  ungkapannya  "Jika  pemiliknya diketahui maka diserahkan kepada pemiliknya, jika tidak diketahui maka diserahkan untuk kepentingan umat Islam".

Seorang muslim yang baik dan lebih-lebih sebagai pemangku jabatan hakim, harus berusaha untuk menjauhkan diri dari harta yang haram, tidak menerima dan tidak memakannya. Jika terpaksa dan telah menerimanya serta tidak dapat mengelak darinya, maka hendaklah harta tersebut tidak digunakan untuk keperluan pribadi dan keluarganya, khususnya terkait dengan  kebutuhan  makanan.  Namun  hendaklah  harta  tersebut dipergunakan  untuk  keperluan  sosial  dan  kepentingan  sarana umum, seperti jalan raya, jembatan dan lain-lain.

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita temukan proses suap terutama dikalangan orang-orang atas. Orang-orang atas semena-mena melakukan korupsi tapi kenyataannya mereka malah bebas berkeliaran dimana-mana tanpa diberikan keadilan. Meskipun mereka diberikan hukuman itupun sangatlah ringan hanya berkisar bulanan di jeruji sel, fasilitasnya pun juga tergolong mewah. Tapi sebaliknya jika orang-orang menengah  kebawah yang melakukan pelanggaran negara meraka di hukum dengan hukuman yang berat. Itulah hal yang perlu di kaji ulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun